Pages

Friday, June 21, 2013

Gereja Motivasional dan Nyorga

Catatan ini lahir dari kejadian tak disengaja ketika saya sedang googling tentang seorang gembala sidang di Amerika yang sangat banyak pendukungnya, namun banyak juga pengkritiknya. Kemudian muncullah pemikiran tentang fenomena gereja masa sekarang. Sebagian gereja memberikan porsi motivasi yang begitu besar, sehingga dituduh sebagai gereja sekuler atau penganut ajaran kemakmuran. Sebagian lain sangat fokus kepada persiapan kehidupan di sorga dalam pengertian sempit, sehingga kurang memberi dampak bagi masyarakat dan tampak seperti kumpulan alien.

Dalam doa yang Yesus ajarkan, "....datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga... " terkandung pesan bahwa gereja adalah perwakilan Tuhan di dunia. Gereja mengusung misi membawa dan memberitakan kerajaan Allah. Kerajaan Allah tidak hanya terdiri dari perkataan (doktrin) tapi juga oleh kuasa, untuk membuat perkataan itu membumi, menjadi tindakan nyata yang memperbarui masyarakat. Kerajaan Allah adalah tentang kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus. Tentang kebenaran, berarti tidak kompromi mengenai apa yang benar dan salah. Tentang damai sejahtera, berarti keberadaan gereja membawa perdamaian di tengah dunia. Keberadaan gereja bukan untuk memusuhi anggota tubuh yang lain dan kelompok masyarakat lainnya. Tentang sukacita, berarti sukacita adalah atmosfer yang ada di dalam gereja, yang terus dibawa kemanapun gereja bergerak. Dunia ini sedang krisis ketiga hal ini, dan gereja dipanggil untuk menyatakannya di bumi.

Gereja perlu kembali kepada Alkitab. Bukan dengan meng-copy-paste semua yang tertulis di dalamnya tanpa memahami konteks budaya. Gereja perlu memotivasi anggotanya agar menjadi pribadi unggul secara kualitas. Yesus pernah menyindir murid-murid-Nya dalam sebuah perumpamaan dengan mengatakan bahwa, "...anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang.". Gereja harus melahirkan orang-orang seperti Yusuf, Daniel, Hananya, Misael, Azarya, dan Nehemia. Gereja juga harus mengalami pendewasaan iman dan pengenalan akan Tuhan seperti yang dialami para tokoh Perjanjian Lama tadi. Manusia hidup mengemban misi spesifik seperti yang disebut rasul Paulus sebagai "pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau supaya kita hidup di dalamnya". Misi spesifik ini yang saya sebut panggilan hidup. Kita tidak dilahirkan ke dunia hanya untuk berpulang ke sorga.

Gereja perlu membangun kesadaran dalam masing-masing pibadi tentang perlunya mengenali panggilan hidup. Bukan hanya mengenali, tapi bersama-sama saling mendukung untuk mencapai panggilan itu. Inilah yang saya sebut sebagai menjadi jawaban bagi dunia. Saat setiap pribadi mengenali panggilannya dan hidup di dalamnya, saat itulah sentuhan gereja menerobos tembok rohani-sekuler. Keberadaan gereja menjawab kebutuhan dunia dengan menggarami dan meneranginya pada semua bidang, tanpa berkompromi dalam hal prinsip.

Semoga catatan pendek ini bermanfaat bagi pembaca yang budiman.

Tuesday, June 11, 2013

Niat dan Prioritas

Kita sering dibuat kesal oleh pemberi harapan palsu (termasuk diri sendiri) ketika bersepakat untuk sesuatu dan di saat-saat terakhir dibatalkan oleh salah satu pihak. Alasan apapun yang diberikan tidak menghilangkan kekecewaan yang sejenak muncul di diri. Sering saya menyebut fenomena ini dengan sebutan tidak niat. Jika pelakunya adalah diri sendiri, maka saya pasti memarahi diri sendiri, tentunya tidak di depan orang banyak. Dan jika pelakunya orang lain, jurus pertama adalah mengelus dada, dan pada level tertentu bisa berupa sindiran, bahkan amukan.

Seniat apapun kita berusaha hendak melakukan sesuatu, akan dipandang tidak niat oleh orang lain ketika hal itu tidak terlaksana. Kadang yang membuat hal itu tidak terlaksana adalah adanya pilihan lain yang lebih tinggi prioritasnya bagi kita. Pilihan lain ini tidak selalu merupakan hal yang bertentangan dengan hal yang kita niati. Bisa jadi ia adalah hal yang baik, namun karena manusia tidak bisa berada di dua tempat berbeda untuk melakukan hal yang berbeda, maka pasti ada yang terlaksana dan ada yang tidak. Kedua pilihan itu tidak menjadi permasalahan jika tidak muncul dan perlu penyelesaian dalam waktu bersamaan, apalagi di dua tempat yang berbeda dan tidak berlaku penundaan. Kondisi bentrok secara waktu inilah yang membuat kita harus memilih salah satu diantara dua atau lebih. Dan dari keputusan inilah tercermin prioritas kita. Pilihan kita menggambarkan/mencerminkan/menunjukkan/menyatakan prioritas kita. Yang satu lebih penting dari yang lain. Bentrok pilihan A dan B bukan satu-satunya kemungkinan bentrok yang dapat terjadi, tapi mari kita sederhanakan pemikiran dengan meninjau dua pilihan ini saja. Dari beberapa kali kejadian bentrok A dan B, dapat kita lihat pilihan mana yang lebih banyak diambil. Dari situ pula, secara sederhana kita bisa simpulkan prioritas A dan B dalam diri seseorang.

Dimana hartamu berada, disitu hatimu berada.

Tindakan berbicara jauh lebih kuat dari perkataan. Jika kita bilang A lebih penting dari B, tapi kenyataannya kita lebih memilih untuk lebih sering berada di kondisi B, maka kita sedang berdusta. Jika tidak ingin dikatakan berdusta, maka mungkin bisa dikatakan kita mengalami kelainan berupa ketidaksinkronan otak dan mulut. Jika hal ini berlangsung terus menerus maka bisa jadi akan berubah menjadi sindrom ketiaksinkronan kronis. Pada kondisi terparah bisa menjadi pendusta profesional.

Seberapa banyak kita mengaku mencintai keluarga dan menganggap keluarga adalah yang terpenting tetapi waktu yang kita miliki bahkan saat libur tidak pernah kita berikan untuk keluarga? Atau mungkin kita ada bersama keluarga tapi tidak berada dalam kebersamaan? Contoh keluarga adalah salah satu diantara banyak prioritas dalam hidup kita. Hari ini mari kita merenungkan, mari kita berhitung dan mengevaluasi diri, sejauh mana keputusan kita konsisten dengan prioritas yang telah kita tetapkan. Apakah prioritasnya yang harus dirombak atau cara kita mengambil keputusan? Pilihan ada di tangan kita. Sekali lagi, pilihan kita menunjukkan prioritas kita.

Saturday, June 1, 2013

Pancasila Kini

Hari ini, bangsa Indonesia memperingati hari lahirnya Pancasila. Sebagai ideologi bangsa, Pancasila telah menunjukkan pada dunia bahwa jamrud khatulistiwa mampu menggagas ide luar biasa yang menyatukan begitu banyak suku. Indonesia sampai saat ini adalah negara dengan kemajemukan paling kompleks di seluruh dunia. Ada puluhan ribu pulau, ada ratusan bahkan mungkin ribuan suku, dan ratusan bahasa daerah. Sangatlah luar biasa bisa menyatukan begitu banyak keragaman, apalagi untuk bangsa yang berangkat dari status terjajah. Namun kenyataannya kita berhasil, sehingga lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Para pendiri bangsa ini tidak memaksakan ide satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, karena hal itu muncul dari kesadaran, dan kesadaran itu muncul dari dalam diri pemuda-pemuda itu sendiri. Dari ide tersebut lahirlah kesatuan, dari kesatuan dirumuskanlah hal-hal mendasar yang menjadi fondasi bangsa, yakni Pancasila. Kini, mari kita renungkan, adakan kita terus membangun bangsa ini di atas fondasi yang sama? Mari kita teliti satu persatu sila.

1. KETUHANAN YANG MAHA ESA
Derasnya arus sekularisme telah begitu mengikis religiusitas sebagian masyarakat kita. Hari ini saya temukan tiga jenis manusia Indonesia berdasarkan religiusitasnya: ekstrem religius, ekstrem anti-religius, dan mediokritas. Ekstrem religius adalah orang yang sangat mengutamakan agama dalam kehidupannya, ada yang dalam kadar wajar, ada yang berlebihan hingga menimbulkan semacam ketidaksukaan dalam dirinya kepada pemeluk agama lain. Ekstrem anti-religius adalah mereka yang mungkin muak dengan kelakuan orang beragama yang tidak mencerminkan ajaran agama, sehingga mereka menyalahpahami ajaran agama dan memilih untuk tidak beragama. Sedangkan mediokritas adalah mereka yang santai saja hidupnya, beriman namun biasa-biasa saja, suam-suam, bermain di area nyamannya.

2. KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
Saya membahasakannya sebagai mengasihi sesama karena mereka sesama manusia, bukan karena sesama suku, agama, ras, bahasa, daerah asal, dan golongan. Mengasihi itu kata kerja aktif, dibuktikan melalui tindakan. Mengasihi itu tulus, tanpa pamrih. Mengasihi berarti memberi diri untuk menolong saat sesama membutuhkan pertolongan. Semua karena yang kita kasihi adalah sesama kita. Maka lihatlah, apa yang terjadi hari ini tentang kesetiakawanan, tentang gotong royong, tentang kerelaan, dan ketulusan? Individualisme telah merenggut jiwa sosial sebagian masyarakat sehingga generasi ini cenderung cuek ketimbang peduli. Kalaupun peduli, semangatnya tidak lagi tulus, tapi "wani piro?". Sebagai bangsa yang beradab mari kita memulihkan jiwa kita yang mungkin telah menjadi individualistik. Kemudian kita tampilkan dalam tindakan nyata untuk mengasihi sesama.

3. PERSATUAN INDONESIA
Sejak awal, keberagaman Indonesia telah menjadi kekuatan sekaligus tantangan (mungki bisa juga disebut celah yang bisa dieksploitasi). Pada dasarnya manusia merasa lebih nyaman berada di tengah-tengah orang yang "sama" dengannya. Namun kenyamanan ini bisa jadi sangat membosankan. Justru dengan keberagaman, terciptalah kesatuan yang unik. Mengutip seorang intelektual Indonesia, "tidak sama bukan berarti tidak bisa bersama", semangat inilah yang perlu kita tanamkan dan pupuk. Karena hari ini, tidak sedikit konflik muncul atas dasar keberagaman. Celah yang bisa dieksploitasi oleh pembuat perpecahan itu tidak akan berhasil dieksploitasi jika kita bersatu. Karena keterikatan memunculkan kekuatan.

4. KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN PERWAKILAN
Demokrasi Pancasila sebenarnya tidak sama dengan demokrasi yang ada di negara lain. Oleh karena itu kita mempunyai wakil rakyat yang mengemban suara rakyat. Adalah hal yang lucu menurut saya jika pengambilan keputusan untuk memilih pemimpin harus dilakukan oleh seluruh rakyat (yang punya hak pilih) secara langsung. Selain membengkakkan biaya, juga mengindikasikan ketidakpercayaan kepada wakil-wakil rakyat. Belum lagi pengambilan keputusan yang transaksional, langsung main voting tanpa musyawarah terlebih dahulu. Dalam keseharian masyarakat pun hal ini sudah sering terjadi. Padahal semestinya bukan suara terbanyak yang diambil keputusannya, namun ide terbaik dan paling relevan. Karena belum tentu suara mayoritas adalah yang benar, mengingat kondisi masyarakat kita yang loyalitas pada golongannya kadang mengalahkan hati nurani. Kita perlu berpulang pada semangat musyawarah untuk mufakat. Membuang ide bahwa voting adalah jalan terbaik dan satu-satunya. Voting adalah jalan terakhir saat mufakat tidak terjadi.

5. KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
Untuk hal yang satu ini, kita mungkin akan satu suara berpendapat bahwa kita harus banyak berbenah. Seharusnya, mental bangsa ini bukan mental orang terjajah. Orang yang terjajah biasanya manggut-manggut kepada penguasa. Sedangkan di Indonesia, kedaulatan adalah di tangan rakyat. Pemerintah bukan penguasa, tapi abdi rakyat. Kita bukan negara monarki absolut dimana sang raja adalah yang paling berkuasa (walaupun ada daerah istimewa). Para birokrat adalah pejabat publik yang melayani masyarakat secara adil, tidak pandang siapa yang lebih berduit dan siapa yang lebih berkuasa. Banyak aspek keadilan yang perlu dibenahi. Kesempatan memperoleh pendidikan dan sarana penunjang kesehatan adalah salah satu yang paling krusial. Jangan sampai muncul buku "orang miskin dilarang sekolah" dan "orang miskin dilarang sakit" jilid 2.

Sepertinya saya sedang curhat tentang kegalauan hati mengenai bangsa ini. Sebenarnya memang iya, namun saya tidak hendak bergalau tanpa harapan. Dari pemikiran sederhana diatas mari kita mencari lagi fondasi kita. Mari kita membangun keseharian kita dengan landasan Pancasila. Mari kita amalkan Pancasila. Mari menjadi pelaku perubahan, lebih dari sekedar berwacana. Dimulai dari individu-individu yang berubah, maka bangsa Indonesia pasti bisa berubah, menemukan kembali fondasi kita dan terus membangun diatasnya.

Tentang perubahan yang diawali dari diri sendiri dengan memberi keteladanan kepada sesama, Sang Guru Besar pernah berkata, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka."