Pages

Sunday, October 27, 2013

Aww.. Bibirku Tergigit



Dalam waktu kurang dari dua minggu bibir saya sudah tergigit tiga kali. Semua terjadi pada saat mengunyah makanan. Peristiwa pertama meninggalkan luka kecil. Tiga hari kemudian ketika luka yang pertama hampir sembuh, terjadilah gigitan yang kedua. Gigitan yang kedua terjadi di tempat yang sama. Saya cukup kesal dengan hal itu, karena selain sakit, juga mengakibatkan luka yang lebih besar. Luka pertama yang hampir sembuh ditambah gigitan kedua menyebabkan lukanya jadi lebih besar dari sebelumnya. Bukan hanya lebih besar, tapi juga menimbulkan bengkak atau benjol di area luka.

Dan gigitan yang ketiga terjadi beberapa menit yang lalu (tiga hari setelah peristiwa kedua), juga terjadi di tempat yang sama. Reaksi pertama yang muncul adalah saya berkata dalam hati, “Kapan mau sembuhnya kalau begini lagi?”. Dan sesaat kemudian, dalam waktu yang sangat singkat, ada suara dalam hati yang berkata, “Demikian juga orang yang kembali melakukan kesalahan di tempat yang sama berulang kali”. Deg, saya langsung tertegun, “Tuhan, apakah Engkau sedang ingin menyampaikan suatu pesan kepadaku? Apakah ini sebuah teguran untukku?”. Jawabannya adalah “Ya” untuk semua pertanyaan itu.

Tubuh kita punya kemampuan self-healing atau menyembuhkan diri sendiri saat terjadi luka. Tapi sementara proses itu berlangsung, dan percederaan yang terjadi di tempat yang sama, maka sangat mungkin luka akibat peristiwa kedua akan lebih besar dan butuh waktu lebih lama untuk dipulihkan. Bagaimana jika itu berlangsung terus menerus? Tentu luka itu tidak akan pernah sembuh. Bagian terburuknya adalah luka itu akan terus membesar, dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi sangat membahayakan jiwa.

Peristiwa ini membuat saya merenung. Sepanjang hidup, kita beberapa kali mengalami “luka”. Kalau mau jujur diakui, sebagian besar bahkan hampir seluruhnya kita buat sendiri. Luka timbul akibat kesalahan, dosa, yang memang kita lakukan. Saat kita bertobat, maka dosa seketika itu diampuni, tapi luka akibat dosa itu perlu waktu untuk memulihkannya. Kebodohan kita adalah menganggap setelah diampuni maka kita lupa untuk berhati-hati agar tidak mengusik atau mengambil tindakan yang membahayakan luka tersebut. Kita berperilaku seolah-olah luka itu telah sembuh. Kita sembrono menjalani hidup, sehingga di kemudian hari melakukan kesalahan di tempat yang sama.

Dosa bukan hanya memberontak/tidak taat kepada Tuhan, namun juga menyakiti diri sendiri. Beberapa hari ini saya sedang dididik untuk tidak bersungut-sungut dan mencobai Tuhan. Dalam kalimat positif, Tuhan sedang mengajar dan mendidik saya untuk selalu bersyukur dan percaya kepada-Nya. Ya, sejujurnya saya telah banyak jatuh dalam kedua hal itu saat saya merenungkan perjalanan hidup saya beberapa tahun terakhir. Tuhan benar-benar menghajar saya tentang apa arti bersyukur dalam segala hal dan percaya kepada-Nya, sampai kepada hal-hal yang sederhana. Saat kita bersungut-sungut, kita sedang menyakiti Tuhan dan diri sendiri. Saat kita mencobai Tuhan pun demikian adanya.

Setiap pribadi ada dalam pemrosesan yang unik. Saya tidak tahu apa yang sedang dikerjakan Tuhan dalam hidup pembaca yang budiman hari-hari ini. Namun saya ingin berbagi pelajaran sederhana dari peristiwa luka gigitan di bibir. Jangan membuat kesalahan di tempat yang sama. Karena bukan hanya itu berarti kita adalah orang yang dungu dan bebal, namun itu membuat kita makin terluka. Kabar baiknya, Tuhan mau dan mampu menyembuhkan luka kita. Luka batiniah tidak sembuh dengan sendirinya seperti luka lahiriah. Manusia batiniah kita perlu Tuhan untuk membuat luka-luka itu sembuh. Tuhan telah bersedia dan Dialah satu-satunya yang sanggup membuat luka batiniah kita sembuh dengan sempurna, Kesembuhan sejati, bukan kesembuhan semu seperti yang ditawarkan dunia. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat. 
 

Friday, October 11, 2013

Tentang Dia

Hidupku bukanlah tentang aku. Segala yang terjadi sejak hari kelahiranku bukan tentang aku, bukan demi aku, dan bukan untuk aku. Hidupku juga bukan tentang mereka, orang-orang yang kucintai. Walau butuh waktu yang tak singkat untuk memahaminya, aku bahagia bahwa aku telah menyadarinya sekarang.

Mungkin akan ada orang-orang yang tak sependapat tentang hal ini. Namun, aku tidak tertarik untuk memperdebatkannya. Kesadaranku tidak berarti bahwa aku menganggap diri sendiri atau orang-orang yang kucintai tidak berharga dalam hidupku. Ini adalah tentang siapa/apa yang terutama dalam hidupku. Saat yang terutama tetap tinggal, tak masalah jika hal lain yang berharga diambil dariku. Yang terutama berbicara tentang yang paling penting, dan sangat logis jika aku berharap yang terutama ini adalah yang sempurna. Kenyataannya demikianlah adanya. Yang terutama adalah yang sempurna.

Hanya yang sempurna yang mampu menjadikan yang tidak sempurna (cacat) seperti diriku menjadi sempurna. Itu sebabnya aku bahagia. Karena penyempurnaan itu melibatkan proses yang unik. Tak satupun sama persis antara manusia satu dengan lainnya.

Hidupku adalah tentang Dia. Sejak semula sebelum dijadikan dan terlahir ke dunia, Dia telah merancangkan apa yang baik dalam hidupku. Dia telah meletakkan tujuan yang baik untuk kulakukan selama hidupku di dunia. Yang ku inginkan bukanlah supaya Dia menyetujui apa yang ku rencanakan, tapi untuk mengetahui dan melakukan apa yang Dia rencanakan untuk kulakukan. Menyelesaikan rencana-Nya, hingga saatnya tiba Dia membawaku pulang, dan berkata, "sudah selesai". Ya, pulang. Karena rumahku bukan di dunia yang sekarang ini.

Kini aku berkata:
Hidupku adalah tentang-Mu. Seluruh peristiwa yang kualami adalah tentang-Mu. Sesungguhnya kadang aku merasa malu dan hina karena ketidaksempurnaan, cela, cacat, noda, dan kebobrokanku. Namun Kau memandangku dan mengangkatku dari keterpurukan. Kau membersihkanku dan menyadarkan siapa aku sebenarnya. Kau membawaku pada keluarga kerajaan-Mu dan menjadikanku bagian di dalamnya. Kau yang sempurna telah melakukan yang terbaik untukku. Kini, aku yang sedang Kau sempurnakan, akan selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk-Mu, karena aku cinta Kau lebih dari apapun.