Pages

Tuesday, January 28, 2014

Memaksakan Keyakinan

Jika anda bertemu dengan orang yang tidak percaya bahwa 1 + 1 = 2, apa yang anda lakukan? Apakah memaksanya untuk percaya? Sekalipun anda benar dan dia salah, memaksa bukanlah cara yang bijaksana. Apalagi jika memaki orang itu dengan panggilan bodoh.

Walaupun jika kenyataannya dia memang bodoh, bukankah sebaiknya kita menerangkan kepadanya ketimbang memaki? Memaki tidak lantas membuat seseorang beralih dari kondisi tidak paham menjadi paham. Justru yang sering terjadi malah sebaliknya, orang tersebut menutup diri terhadap kebenaran yang disampaikan. Orang yang sudah menutup pintu hati, pikiran, dan panca indera terhadap kita akan sulit diyakinkan. Oleh karena itu menjelaskan jauh lebih baik daripada memaki.

Tugas kita adalah menyampaikan mengapa kita menganggap benar bahwa 1 + 1 = 2 . Kebiasaan kita yang malas berpikir sering membawa kita pada jurus "pokoknya". "Pokoknya begini, percaya saja!". Jika jurus pokoknya sudah terlontar, biasanya ada juga jurus andalan untuk menghadapinya yaitu jurus "ngomong sama tangan". Kembali lagi, tugas kita adalah menjelaskan, menerangkan, berusaha meyakinkan, tapi bukan memaksa untuk jadi yakin atau paham.

Namun ternyata belum tentu kita benar juga. Menurut cara pandang orang lain kita bisa jadi yang dianggap salah. Dalam hal ini 1 + 1 hasilnya bukan 2 jika kita bicara dalam konteks bilangan biner. Lihatlah betapa keyakinan kita bisa salah dalam sudut pandang lain.

Keyakinan seseorang ditentukan oleh cara pandangnya. Satu contoh lagi adalah sifat dualisme cahaya. Cahaya bisa kita sebut sebagai partikel, itu benar, dan disaat bersamaan juga benar jika kita sebut gelombang. Dengan meyakini salahsatunya saja bukanlah sebuah kesalahan. Tapi jika orang yang meyakini cahaya hanya sebuah partikel kemudian berdebat dengan orang yang meyakini cahaya hanya sebagai gelombang, maka orang ketiga yang mengetahui bahwa keduanya benar mungkin akan tertawa geli.

Kesalahpahaman muncul karena prasangka, yang dibalut dengan wawasan yang sempit. Saat kesalahpahaman mulai berakar kuat, ia dengan mudah bertumbuh menjadi perselisihan, bahkan kebencian. Kebencian memunculkan perselisihan yang tidak sehat. Oleh karena itu, adalah sangat penting untuk meletakkan prasangka ketika kita berhadapan dengan orang yang berbeda pandangan dengan kita. Hal kedua yang juga penting adalah membuka wawasan kita selebar-lebarnya. Dan yang terpenting adalah empati, meletakkan diri pada posisi orang lain. Empati tidak hanya ditujukan kepada orang yang mengalami kesusahan, tapi juga orang yang berselisih dengan kita. Jika kita ada dalam posisi orang tersebut, apa yang sekiranya kita pikiran dan rasakan. Dengan jalan itu kita dapat beralih dari kesalahpahaman kepada kesalingpahaman.

Semoga tulisan ini bermanfaat

Tuesday, January 21, 2014

Ngoceh Tentang Buku

Tahun 2014, saya menargetkan diri untuk membaca setidaknya 30 buku. Target bulan ini baca 4 buku, karena memang ada 4 buku yang tersedia. Ternyata dalam 2 minggu sudah habis terbaca. Dalam gundah gulana menginginkan bahan bacaan baru, saya menjelajahi berbagai macam situs review buku. Dari situs goodreads, forum kaskus, sampai blog komunitas pecinta buku, semua sudah dijelajahi. Sejauh ini belum menemukan satu buku yang membuat saya ingin bergegas ke toko buku atau perpustakaan. 

Akhirnya baca lagi buku lama. The Shack, novel yang menurut saya jempolan. Walaupun sebenarnya ada kekurangan di sana sini, mungkin disebabkan karena baca versi terjemahan Bahasa Indonesia, namun secara keseluruhan buku itu menyuguhkan teologia secara cantik.

Namun, dari semua buku yang pernah dibaca, ada satu yang paling istimewa. Alkitab, buku paling luar biasa sepanjang jaman. Setelah selesai membacanya, tak lantas membuat saya bosan. Saya membacanya lagi, lagi, dan lagi(karena baru 3 kali membaca habis dari Kejadian sampai Wahyu). Bagi saya, Alkitab adalah "buku yang tak pernah tamat kubaca".

Semua pengetahuan yang diperlukan untuk hidup ada disana. Pengetahuan itu tak pernah usang. Ia aktual di segala jaman. Ia mencakup ilmu manajemen di semua area, baik itu pribadi, keluarga, kelompok masyarakat, sampai negara.

Latar belakang penulisnya pun bermacam-macam. Ada yang nabi, raja, farisi, bahkan petani dan nelayan. Apa yang membuatnya unik adalah semua penulis itu mendapat ilham dari Tuhan sendiri. Sehingga tidak didapati kesalahan atau pertentangan antara satu dan lainnya, walaupun waktu penulisannya ribuan tahun. Alkitab konsisten benar dan tepat. Sekali lagi, semua yang perlu diketahui untuk hidup tertulis disana.

Itulah yang sering membuat saya batal membeli suatu buku ketika berada di toko buku. Sering ketika membaca sample buku yang tidak tersegel, saya berkata dalam hati, "Ah, yang beginian juga ada di Alkitab". Semua standar moral yang perlu diketahui telah tertulis di Alkitab. Semua ilmu dan jurus untuk menjadi sukses juga tertulis di Alkitab. Begitupun tentang kepemimpinan, hubungan, motivasi, dan berbagai macam hal. 

Saya tidak berkata bahwa membaca buku kepemimpinan, manajemen, motivasi, dll tidak berguna. Tapi taukah para pembaca yang budiman, bahwa banyak buku-buku itu terinspirasi dari Alkitab? Maka bagi saya buku-buku itu adalah suplemen, bukan makanan pokok. Masalahnya saya sering menemukan orang-orang Kristen yang lebih doyan suplemen daripada makanan pokok. Jika itu termasuk anda, maka saya sarankan dan anjurkan anda kembali menggemari Alkitab.

Sebagai penutup, taukah pembaca mengapa saya menargetkan untuk membaca minimal 30 buku? Rhenald Kasali pernah berkata bahwa rata-rata CEO perusahaan besar membaca setidaknya 30 buku dalam setahun. Jika para CEO, orang-orang yang sangat sibuk saja sanggup, dan mereka ingin meningkatkan kualitas diri dengan membaca, mengapa kita tidak? Anda boleh berkata bahwa saya kecanduan buku. Setidaknya bagi saya itu lebih baik dari kecanduan cukrik :)

Semoga apa yang saya tulis ini bermanfaat.

Monday, January 13, 2014

Menggauli Buku

Beberapa hari yang lalu saya bertemu di dunia maya dengan kawan semasa SMA. Usai ngobrol singkat kami bertukar nomer ponsel. Sejenak saya teringat masa-masa sekolah. Masa penuh perjuangan, dimana saya harus selalu masuk ke sekolah negeri mengingat orang tua hanya sanggup membiayai sekolah jika saya masuk ke sekolah negeri. Ketika kenangan-kenangan yang muncul itu, saya terusik oleh sebuah fenomena yang sangat umum kita temui.

Di sekolah, kita punya buku pegangan yang sama. Tapi mengapa ada yang sangat menguasai materi, ada yang biasa, dan ada yang kurang dalam memahami materi? Saya memaklumi bahwa hampir tidak mungkin seisi kelas mendapat nilai yang sempurna seluruhnya. Setiap pribadi punya bidang kejeniusan masing-masing. Namun saya percaya jika ada kemauan pasti ada jalan. Jika mau berusaha, semestinya kita tidak akan berakhir dengan tangan hampa. Berdasarkan pengamatan saya selama bersekolah, kecerdasan memang berpengaruh, tapi itu hanya pada seberapa cepat daya tangkap seseorang. Orang dengan tingkat kecerdasan tinggi dalam bidang tertentu akan lebih mudah memahami materi pelajaran bidang tersebut dibandingkan dengan mereka yang punya kecerdasan dibawahnya. Bagi yang punya kecerdasan logis-matematis yang sangat tinggi bisa memahami penjelasan guru Matematika dalam sekali sesi, sementara yang lain mungkin butuh perulangan beberapa kali untuk memahaminya. Demikian pula dengan kecerdasan-kecerdasan lainnya (multiple intelegence). Bimbingan belajar di luar sekolah juga bukan faktor utama, karena teman SMA yang rangking satu paralel pun tidak ikut bimbingan belajar. Padahal menurut saya, dia juga bukan murid paling cerdas yang ada di sekolah.

Bagi saya, alasan terkuat mengapa ketimpangan itu terjadi adalah perbedaan dalam “menggauli buku”. Mari saya jelaskan mengapa saya gunakan istilah menggauli buku. Menggauli, bukan cuma dipegang (karena memang buku pegangan minimal fungsinya untuk dipegang), tapi juga dibaca, dikritisi, digali, dirasakan, dikepoin, dinikmati tiap lembarnya seperti menikmati makanan kesukaan, dikejar untuk mencari solusi permasalahan yang tertulis didalamnya. Untuk bisa melakukannya dibutuhkan kecintaan. Mari mengingat pesan guru selama kita sekolah yang berkata demikian: cintailah semua mata pelajaran sekalipun gurunya tidak kau sukai. Pesan ini disampaikan oleh sebagian besar guru selama kita sekolah. Beliau-beliau sadar bahwa kadang metode yang dipakai tidak disukai oleh sebagian murid, tapi jiwa pengajar sejati tak menginginkan muridnya membenci pelajaran yang diajarkan. Lalu mengapa buku? Bukankah ada berbagai macam sumber materi pembelajaran? Ya, tentu saat ini ada banyak media pembelajaran selain dari buku. Saya adalah orang yang lebih auditori ketimbang visual. Lebih suka mendengar daripada membaca. Tapi fakta-fakta berikut membuat saya harus mencintai membaca: Pertama, media dengan sumber (resource) yang terlengkap saat ini adalah buku, dibandingkan dengan audio atau video. Jika saya ngotot hanya mau belajar dari mendengar maka saya menutup pintu bagi sekian banyak informasi yang belum tersedia dalam bentuk audio. Kedua, media buku bisa dibaca dimanapun, kapanpun, hanya dengan satu syarat, yaitu penerangan (sinar) yang cukup. Sementara untuk media audio dan video akan butuh catu daya (sumber listrik), entah itu baterai atau listrik AC dari PLN, untuk menyalakan perangkat pemutar audio/video. Ketiga, buku memiliki nilai ekomonis yang lebih baik bagi konsumen karena umumnya lebih murah daripada media audio/video yang berbayar. Keempat, secara ketahanan, umumnya buku lebih awet (umurnya lebih panjang) dibanding media audio/video. Buku hanya rusak jika disobek atau dibakar, sementara media penyimpanan audio-video lebih mudah terkena jamur (CD/DVD), rentan terkena virus atau terformat (flashdisk dan harddisk).

Saya teringat suatu peristiwa saat kuliah semester 5, kalau tidak salah Pengolahan Sinyal Digital. Menjelang UAS saya dan beberapa teman memutuskan untuk belajar bersama. Berbekal soal-soal UAS semester sebelumnya kami pun berlatih. Sungguh mencengangkan, bahwa tidak satupun soal-soal tersebut dapat kami selesaikan. Harap diketahui bahwa saya belajar dengan mahasiswa-mahasiswa yang cerdas dan fantastis. Tapi begitulah kenyataannya, kami tidak bisa menyelesaikan satupun soal. Singkat cerita kami menyerah. Setelah berunding kami memutuskan untuk minta petunjuk kepada dosen, namanya Pak Suwadi. Di ruang dosen kami bilang, “Permisi pak, kami mau tanya tentang soal semester lalu yang kurang paham. Nomer 3 ini gimana ya pak?”. Kemudian dosen menerangkan solusinya. Selanjutnya kami bertanya tentang nomer 1, dosen pun menjawab. Lalu kami bertanya tentang nomer 4, dan dosen mulai curiga, “Jangan-jangan ini kalian nggak ada yang bisa jawab”. Kami cuma meringis, “Hehehehe”. Singkat cerita akhirnya bapak dosen menjawab semua soal (5 buah soal), setelah itu memberi wejangan: “Anak jaman sekarang ini nggak ada fighting spirit nya. Kan tiap pertemuan saya kasih tugas beberapa soal dari buku untuk dikerjakan sebagai latihan di rumah. Walaupun itu tidak untuk dikumpulkan, bukan berarti tidak untuk dikerjakan.” beliau melanjutkan, “Kalian tau gak, Pak Gam (Prof. Gamantyo Hendrantoro - red) itu dulu semasa kuliah bukan cuma ngerjakan soal yang disuruh sama dosen, tapi semua soal di buku dia kerjakan. Bahkan dia semasa masih mahasiswa berani bilang kalau Prof. Proakis (penulis buku terkenal di jagad persinyalan) itu salah. Ada yang salah di bukunya Proakis dan dia berani membuktikan”. Glek, kami hanya menelan ludah.

Kami sadar bahwa sebuah kesalahan besar kami meremehkan tugas yang memang oleh dosen tidak pernah diminta untuk dikumpulkan karena memang tidak dinilai. Tapi itu menjerumuskan kami pada ketidaktahuan yang fatal. Jangankan latihan soal, baca materinya saja sudah aras-arasen alias malas. Saat terhimpit, kepepet, baru kami mau buka buku, itupun juga masih kesulitan. Bukankah dalam kehidupan ini kita juga sering melakukan hal yang sama. Kita meremehkan hal-hal yang kita anggap bisa kita pelajari nanti. Padahal sesungguhnya ujian hidup tidak pernah bisa kita prediksi datangnya. Itu sebabnya kalimat, “nanti sajalah belajar kalau sudah dekat ujian” tidak bisa kita kenakan ke dalam ujian kehidupan. The power of kepepet bisa bekerja baik dengan syarat kita setidaknya pernah mengatahui ilmu yang berguna untuk melalui persoalan tersebut. Jika kita tidak tahu ilmunya, the power of kepepet hanya akan memunculkan spekulasi yang mirip melempar dadu untuk menjawab soal pilihan ganda. Itu tidak lebih dari perjudian yang bodoh. Maka sebelum terlambat, mari belajar. Mari menggauli buku.

Buku pegangan sebaik apapun, jika tidak pernah digauli, tidak akan mendatangkan mafaat.

Monday, January 6, 2014

Mari (JANGAN) Cari Pembenaran

Beberapa bulan lalu, setengah jam sebelum selesai kerja, datang sebuah SMS: “Bro, sorry aku rada telat. Masih ada urusan”. Ini bukan kali pertama SMS serupa saya terima. Sudah sekian kali Mr X (sebut saja begitu), rekan kerja saya, mengirim SMS dengan nada serupa. Sebagai informasi, saya bekerja dengan sistem shift. Artinya, saya tidak bisa meninggalkan kantor jika rekan yang bertugas shift berikutnya belum datang. Setelah 30 menit lewat dari jam pergantian shift, rekan saya datang. Saat itulah saya bisa meninggalkan kantor.

Beberapa hari kemudian saya bertugas dalam shift yang sama dengan Mr X. Satu jam sebelum shift berakhir, dia berkata, “Bro, kamu pulang dulu aja. Gak pa pa kok”. Hal itu tentu mengejutkan saya. Dengan enteng saya menjawab, “Santai aja bro. Aku pulang tepat waktu aja”. Saya memutuskan untuk pulang sesuai jadwal.

Dari peristiwa tersebut saya menduga, bahwa untuk menebus rasa bersalahnya karena membuat saya telat pulang beberapa hari sebelumnya, maka Mr X “mengijinkan” saya untuk pulang lebih awal. Namun saya memegang suatu prinsip bahwa: Dalam pekerjaan ini, saya bertanggungjawab kepada perusahaan. Kesepakatan kerja saya adalah sekian jam kepada perusahaan. Jadi saya sepatutnya menggenapi jam kerja yang telah disepakati. Saya berkata (dalam hati alias mbathin), “Kalau kamu merasa berhutang, bayarlah ke perusahaan. Jangan seret saya di permainan permisif yang kedepannya bisa membangkitkan kebiasaan nelat”. Mungkin saya terlalu berpikiran buruk. Namun sangat sulit untuk tidak menghubungkan peristiwa telatnya Mr X dengan “ijinnya” supaya saya pulang lebih awal.

Kadang, bahkan sering, saat kita membuat kesalahan dan menyadarinya, kita menyesal. Hal itu tentu saja baik. Namun, kemudian kita menentukan dengan cara kita sendiri untuk menyelesaikannya (mungkin lebih tepat menutupinya) dengan mengalihkan kepada hal-hal lain yang sebenarnya bukan solusi yang tepat. Pada titik yang lebih parah, kita kemudian menyeret atau mendorong orang lain untuk melakukan kesalahan yang sama, guna merasa tidak sendirian. Cari komplotan, cari bolo, cari orang yang sama-sama bersalah untuk mengurangi rasa bersalah sebenarnya tidak mengurangi kesalahan. Justru kita makin bersalah karena membuat orang lain ikut bersalah. Namun kita berdalih demikian: Setidaknya, jika rasa bersalah itu tidak berkurang, kita tidak merasa sendiri. Kebersamaan dalam kesalahan (dosa) membuat kita sedikit merasa tenang dan aman.

Ketika kita tengok jauh ke belakang, bukankah itu juga terjadi saat nenek moyang kita jatuh dalam dosa? Hawa memetik buah, memakannya, memberikannya pada suaminya sehingga suaminya pun memakannya. Jadilah mereka berdosa bersama-sama. Berkomplot dalam dosa. Bukankah dalam kehidupan kita sering mendengar orang yang suka mengancam, “Aku tidak akan mati sendiri, aku akan menyeret sebanyak mungkin orang”. Memang begitulah sifat alami dosa: Cari kawan dan cari pembenaran.

Hal pertama tentang cari komplotan sudah kita telanjangi, sekarang mari kita lihat peristiwa berikutnya. Jika melangkah sedikit maju, kita temui kisah bangsa Israel di padang gurun yang bersungut-sungut pada Tuhan. Suatu dosa yang sangat besar dimata Tuhan sehingga Tuhan murka dan bersumpah bahwa angkatan mereka (orang-orang dewasa) tidak akan masuk tanah perjanjian. Lihatlah apa usaha mereka untuk melunakkan hati Tuhan, mereka maju berperang dengan usaha sendiri. Suatu upaya yang tampak cukup baik, tapi sangat bodoh. Karena mereka maju berperang tanpa penyertaan Tuhan, maka kalahlah mereka. Dengan kata lain umat itu berkata, “Ok deh Tuhan, kami salah. Sekarang kami akan berbuat sesuatu untuk menyenangkan-Mu dengan cara yang kami anggap baik”. Ternyata kemudian usaha mereka sia-sia, bahkan dapat dikatakan keadaan mereka semakin buruk. Berikutnya, masih dari kisah bersungut-sungutnya bangsa Israel yang berteriak kehausan. Musa, dalam desakan orang Israel, bertindak diluar ketetapan Tuhan. Dia tidak bertindak dalam “ketepatan” alias tidak bertindak tepat seperti yang Tuhan perintahkan. Tuhan memandangnya sebagai tindakan tidak percaya kepada-Nya dan tidak menghormati kekudusan-Nya. Akibatnya, Musa harus menanggung konsekuensi yakni tidak bisa memasuki tanah perjanjian.

Dari perenungan ini mari kita tarik pembelajaran. Pertama, saat kita melakukan kesalahan (dosa), bertanggungjawablah atas kesalahan kita sendiri. Jangan cari pembenaran atau rasa aman dengan menyeret orang lain dalam kesalahan, atau mencari pelaku-pelaku kesalahan yang sama agar kita bisa bersekutu dengan mereka. Dari pelajaran diatas kita tahu bahwa cari pembenaran justru menjauhkan kita dari jalan yang benar. Kedua, jangan gunakan cara kita sendiri untuk menyogok (menyuap) Tuhan agar murka-Nya surut atas kita. Bertobat adalah satu-satunya jalan pengampunan. Menyogok Tuhan, dengan perbuatan baik, pelayanan yang semakin aktif, dan kegiatan-kegiatan baik lainnya tidak akan membantu. Bahkan kegiatan rohani pun tidak akan meluputkan kita dari akibat kesalahan selama kita tidak bertobat. Bertobat bukan hanya ucapan bibir dan perasaan menyesal. Bertobat melibatkan penyerahan diri sepenuhnya dan kesediaan untuk taat pada tuntunan Tuhan. Itu artinya buah pertobatan itu dapat terlihat nyata. Nyata dari hati yang diperbaharui dan muncul dari karakter yang disempurnakan.

Pertobatan sampai titik ini bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal yang mustahil. Hanya oleh Roh-Nya lah kita sanggup melakukannya. Roh-Nya yang tinggal dalam kitalah yang memampukan kita. Ialah yang memberi kita kekuatan untuk sanggup taat akan Firman. Kita hanya dapat berjalan dalam ketepatan-Nya jika kita belajar dan menaati ketetapan-Nya. Roh Kuduslah yang mengajar kita tentang ketetapan-Nya. Tanpa Roh-Nya berkarya dalam diri kita, semua upaya kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik akan menciptakan rasa frustasi. Tanpa Roh Kudus, upaya pertobatan kita bagaikan berdandan di depan kaca tanpa penerangan apapun. Kita tidak mampu, tapi dimampukan. Kita tidak layak, tapi dilayakkan. Kita rusak, cacat, dan penuh cela, tapi dibenarkan, dipulihkan, dan disempurnakan.