Pages

Friday, February 7, 2014

Jatuh Cinta



Pembaca yang budiman, saya akan membahas cinta dengan cara yang mungkin sedikit berbeda dengan cara kebanyakan. Sebagian besar bacaan tentang cinta akan membawa pembacanya untuk menikmati rasa cinta, namun saya akan mengajak anda untuk berpikir tentang cinta. Sekali lagi ini adalah lanjutan dari seri The Four Loves yang diadaptasi dari tulisan C.S. Lewis.
 
Eros yang dimaksud di sini adalah keadaan yang kita sebut “jatuh cinta”, atau dengan kata lain “asmara”. Beberapa orang telah salah mengartikannya sebagai seksualitas belaka. Walaupun seksualitas punya kaitan dengan Eros, namun bukan berarti seksualitas itu sama dengan Eros. Seksualitas dapat hadir tanpa eros, dan ini bukan sesuatu yang sepenuhnya salah. Memang ada seksualitas tanpa Eros yang salah, contohnya pemerkosaan, namun ada juga yang tidak salah, bahkan sah. Sebagian besar nenek moyang kita menikah pada usia yang sangat muda dengan pasangan pilihan orang tua mereka dan tidak ada hubungannya dengan Eros sama sekali pada awalnya. Sebaliknya, ada pula seksualitas yang terbungkus Eros namun tidak disertai akal sehat yang menghasilkan perzinahan, menyakiti hati istri, menipu suami, mengkhianati teman, merusak hubungan, dan meninggalkan anak-anak.

Eros seringkali muncul secara berikut; pertama kali ada perasaan tertarik kepada lawan jenis, ketertarikan umum kepada penampilannya secara keseluruhan. Seseorang yang berada dalam kondisi ini benar-benar tidak mempunyai waktu untuk memikirkan seks. Ia terlalu sibuk memikirkan orang itu. ia penuh gairah, tapi tidak mengarah kepada gairah seks. Jika anda bertanya apa yang diinginkannya, jawabannya seringkali, “terus memikirkannya.” Ia senang merenungkan cintanya. Dan ketika kemudian unsur seksual muncul, ia tidak akan merasa bahwa ini menjadi akar dari semua perasaannya selama ini.

Eros membuat laki-laki benar-benar menginginkan, bukan sembarang perempuan, melainkan satu perempuan tertentu. Laki-laki tersebut menginginkan Kekasih itu sendiri, bukan kesenangan yang dapat diberikan oleh Kekasih. Jika kita belum pernah mengalaminya, mungkin akan sulit membedakan antara mengingnkan seseorang dan menginginkan suatu kesenangan, kenyamanan, atau pelayanan yang dapat diberikan oleh seseorang. Eros yang paling tulus bisa dikatakan tidak beralasan. Bukan karena dia begini atau begitu aku menginginkannya, tapi aku menginginkannya karena dia adalah dia.

Setiap orang tahu bahwa tidak ada gunanya mencoba memisahkan sepasang kekasih dengan membuktikan kepada mereka bahwa pernikahan mereka tidak akan bahagia.  Ini bukan karena mereka tidak akan mempercayai anda, (memang biasanya mereka tidak akan mempercayai anda) tapi, sekalipun mereka percaya, mereka tidak akan membatalkan pernikahan mereka. Karena itu adalah tanda ada Eros dalam diri kita, kita akan berbagi ketidakbahagiaan dengan Kekasih kita. Bahkan jika mereka cukup dewasa untuk menyadari bahwa jika tidak bersama akan membuat mereka sepuluh kali lebih bahagia, mereka akan tetap memilih untuk bersama. Sekalipun ada bukti bahwa pernikahan dengan orang yang kita kasihi itu tidak mungkin membawa kebahagiaan, hanya membawa pada kehidupan yang gagal, miskin, tanpa harapan, terbuang, atau hina – Eros tidak pernah ragu mengatakan, “Lebih baik begini daripada berpisah. Lebih baik menderita bersama dia daripada behagia tanpa dia. Biarlah hati kami hancur asalkan ditanggung bersama.” Inilah kemuliaan dan kengerian cinta.

Benih bahaya tersembunyi dalam kemuliaan Eros. Ia telah berbicara seperti tuhan. Komitmen totalnya, ketidakpeduliannya atas kebahagiaan, harga dirinya yang tinggi, terdengar seperti pesan dari kekekalan. Tetapi Eros yang dihormati dan ditaati tanpa syarat akan menjadi setan. Orang akan rela mati, menjadi martir demi Eros. Dalam kondisi ini Eros telah menyeruak menjadi sebuah “agama cinta”.  Orang bukan hanya kecanduan cinta tapi mempertuhankan cinta. Cinta itu sendirilah yang kemudian menjadi berhala. Di samping itu ada kemungkinan pemberhalaan yang lain, yaitu kepada Kekasih kita. Namun kemungkinan yang kedua itu tidak terlalu berhaya, setidaknya setelah sepasang Kekasih itu memasuki pernikahan. Di dalam pernihakan sepasang kekasih akan mengalami pengenalan-pengenalan yang membuat kemungkinan itu sangat kecil terjadi.

Walau diklaim berasal dari kekekalan, banyak keluhan tentang sifat Eros yang  berubah-ubah. Jatuh cinta berarti memaksudkan dan menjanjikan kesetiaan seumur hidup. Cinta membuat janji-janji yang tidak diminta, tidak dapat dicegah agar tidak mengobral janji. Kalimat, “aku akan selalu setia” ini sungguh-sungguh, tidak munafik. Namun kita sering mendengar cerita orang-orang yang jatuh cinta setiap tahun pada orang yang berbeda, yang berkata, “cinta yang kali ini sungguh-sungguh”, bahwa pengembaraan mereka telah berakhir, bahwa mereka telah menemukan cinta sejati dan akan setia sampai mati. Terdengar cukup menggelikan, namun kenyataannya mereka tulus saat mengucapkannya, walaupun ada pula yang hanya bermain-main. Tahun ini kita bisa berkata bahwa si A lah yang terbaik bagi kita, namun bisa jadi tahun depan kita berkata si B lah yang terbaik. Kondisi yang sedang saya jelaskan bukan berkata pada A dan B pada saat yang bersamaan bahwa merekalah yang terbaik, itu namanya mendua. Tapi yang saya maksudkan adalah kejadian bertemu A dan B sungguh peristiwa terpisah waktu.

Akhirnya, harus diakui bahwa cinta jenis ini tidak bisa berdiri sendiri. Ia membutuhkan pertolongan, karena itu ia perlu diatur. Ia dapat dimatikan, tapi juga dapat dibiarkan hidup. Ia dapat hidup dengan indah dalam diri manusia jika Tuhan tetap menjadi Tuhan dalam hidup kita.

Persahabatan

Ketika Kasih Sayang dan Eros dijadikan tema, banyak orang siap menjadi pendengarnya. Tapi mungkin tidak banyak orang yang menganggap Persahabatan sebagai kasih. Tentu saja karena Persahabatan adalah yang paling tidak populer daripada kedua jenis kasih lainnya. Lebih jauh lagi, tidak semua orang mengalaminya. Inilah faktanya, manusia bisa manjalani seluruh hidupnya tanpa Persahabatan. Philia, yang dimaksud oleh orang Yunani.

Persahabatan adalah kasih yang paling tidak alami. Ia paling tidak berhubungan dengan syaraf kita. Tidak membuat detak jantung kita berpacu. Ia sangat tenang, karena begitulah naturnya. Ia pun rasional. Kita memilih sahabat bukan tanpa alasan yang rasional, sangat kontras dengan jatuh cinta.

Persahabatan membuat orang-orang menarik diri dari kebersamaan kolektif seolah-olah hendak menyepi. Dan yang lebih berbahaya, Persahabatan membuat mereka menarik diri ke dalam kelompok yang terdiri dari dua tiga orang. Seseorang berkata bahwa jika dari tiga orang sahabat (A, B, dan C), A harus mati, maka B bukan hanya kehilangan A, tapi bagian A didalam C, sementara C bukan hanya kehilangan A, tapi juga bagian A didalam B.

Persahabatan muncul dari pertemanan, ketika dua atau lebih rekan menemukan bahwa mereka memiliki wawasan atau minat yang sama atau bahkan selera yang sama yang tidak dimiliki orang lain. Ekspresi khas dari pertemanan biasanya begini, “Apa? Kau juga? Kupikir cuma aku yang... ”. Dengan bertemunya dua orang dengan kesamaan seperti ini, entah melalui kesulitan atau kegagalan atau melalui prestasi, ketika mereka berbagi visi, saat itulah Persahabatan lahir. Dan, dengan cepat mereka saling mengisi. Kemudian dua orang ini akan senang menemukan orang ketiga, keempat, dan seterusnya.

Ketika dua orang yang berbeda jenis kelamin ada dalam sebuah Persahabatan, maka Persahabatan itu akan dengan mudah bertumbuh menjadi eros, jatuh cinta. Kecuali tidak ada ketertarikan fisik, atau salah satunya telah punya kekasih, hampir dapat dipastikan kasih eros akan tumbuh di antara mereka. Sebaliknya, kasih eros dapat membawa mereka pada Persahabatan di antara sepasang kekasih. Namun hal ini tidak menghapus perbedaan di antara kedua jenis kasih itu, hal ini justru menempatkannya dalam pengertian yang lebih jelas. Sahabat anda, kemudian secara bertahap atau tiba-tiba menjadi kekasih anda. Anda pasti tidak ingin berbagi kasih eros dengan orang ketiga. Tapi, anda tidak akan cemburu untuk berbagi Persahabatan. Tidak ada yang lebih memperkaya kasih eros selain menemukan bahwa kekasih anda secara tulus masuk ke dalam Persahabatan dengan teman-teman anda.

Namun Persahabatan juga tak lepas dari kecurigaan, tuduhan tak beralasan, dari segelintir orang yang berkata bahwa Persahabatan antara sesama jenis tidak lain daripada sebuah homoseksualitas. Saya berani berkata bahwa para penuduh itu pasti tidak punya sahabat. Dua pria yang berjalan bergandengan, saling berpelukan, merangkul dari samping sambil berjalan, tidak lantas menyatakan bahwa mereka adalah homoseksual. Bahkan di bagian bumi tertentu di masa tertentu, berciuman antar pria adalah hal yang lumrah. Itu bukanlah ciuman erotis, namun ciuman Persahabatan. Saya sendiri punya seorang sahabat yang sekarang tinggal di Makassar. Seringkali, saat berboncengan di sepeda motor, yang duduk di belakang akan melingkarkan tangan di perut pengemudi (nyabuk dalam bahasa Suroboyoan). Kenyataan bahwa kami nyabuk kalau berboncengan tidak lantas membuat kami jadi homoseksual.

Harus diakui bahwa Persahabatan berperan sangat penting bagi kemajuan umat manusia di berbagai bidang. Para genius di seluruh dunia sangat terbantu, terbentuk, termotivasi, dan “tertambal” oleh sahabat-sahabatnya. Ilmu pengetahuan, seni, sastra, atau apapun, memperoleh manfaat dari Persahabatan para genius di bidangnya ini. Albert Einstein, C. S Lewis, Soekarno, dan banyak lagi tokoh, tidak akan tiba pada pencapaian seperti yang telah mereka capai jika mereka tidak mendapat masukan dari sahabat-sahabatnya.

Sampai disini kita akan bertemu dengan bahaya dari Persahabatan. Ketika orang-orang dengan pandangan, ide, visi, kesenangan-yang merusak, tidak benar, dan merugikan membuat pertemanan, kemudian bersatu dalam Persahabatan, maka kejahatan pula yang dihasilkannya. Itulah yang membuat korupsi, terorisme, diskriminasi, dan perpecahan menjadi sulit untuk dihadapi. Persahabatan dalam hal yang salah, sama seperti Persahabatan dalam hal yang benar, menghasilkan sinergi. Yang berarti satu ditambah satu bukan lagi dua, tapi lebih dari dua. Kekuatan Persahabatan membuat visi, tujuan, dan tindakan mereka, entah itu baik atau jahat, menjadi semakin besar dan kuat.

Sebagai penutup, saya akan mengatakan bahwa Persahabatan adalah alat yang dipakai oleh Tuhan untuk mengungkapkan keindahan orang yang satu kepada yang lain. Melalui Persahabatan, Tuhan membuka mata kita pada mereka. Sebuah kutipan dua ribu tahun yang lalu sungguh menunjukkan kekuatan dan kebesaran dari Persahabatan:

Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya.



Kasih Sayang

Salam jumpa para pembaca yang budiman. Tulisan ini adalah awal dari seri empat macam kasih yang akan saya bahas selama bulan Februari. Pembahasan saya akan banyak mengambil pemikiran dari C.S. Lewis. Boleh dikatakan pembahasan saya adalah intisari dari buku Lewis yang berjudul The Four Loves. Buku ini pernah dipinjam oleh tiga orang, dan kembali ke tangan saya sebelum mereka selesai membaca. Menurut mereka isinya berat. Oleh karena itu saya ingin menyajikan versi ringannya.

Saya akan mulai membahas satu jenis kasih yang paling sederhana dan paling luas. Orang Yunani menyebutnya storge. Saya menyebutknya Kasih Sayang, khususnya kasih sayang orang tua kepada anak-anak mereka, dan kasih sayang anak-anak kepada orang tua. Sebagai gambaran, kasih ini nampak dalam seorang ibu yang merawat bayinya. Bukan hanya pada manusia, kasih ini pun dapat kita lihat pada binatang. Anjing yang mengasuh anak-anak mereka melalui gonggongan, jilatan, dan dengkuran adalah contohnya.

Namun sesungguhnya Kasih Sayang melampaui hubungan orang tua dan anak. Kasih Sayang memberi rasa nyaman, kepuasan dalam kebersamaan, dan dapat ditujukan kepada siapa saja. Kasih semacam ini tidak membeda-bedakan. Hampir semua orang dapat menjadi sasaran dari Kasih Sayang; orang yang jelek, bodoh, bahkan menjengkelkan. Tidak perlu ada kecocokan antara orang-orang yang disatukan oleh Kasih Sayang. Kasih ini mengabaikan umur, jenis kelamin, kelas sosial, pendidikan, bahkan spesies. Kita bisa melihatnya pada manusia dan anjing, bahkan antara kucing dan anjing.

Ada sesuatu yang unik tentang Kasih Sayang. Kemunculan awalnya jarang kita sadari. Kita sering dapat mengingat momen jatuh cinta atau memulai persahabatan, namun tidak demikian dengan Kasih Sayang. Ia muncul seiring berjalannya waktu dalam kebersamaan. Sebagai contoh; anjing akan menyalak pada orang yang baru ditemuinya, namun mengibaskan ekor pada tuan atau kenalan lamanya. Anak kecil kadang takut pada orang yang baru ditemui, tapi merasa nyaman dengan tetangga yang bahkan jarang saling menyapa. Kasih Sayang juga tipe kasih yang hampir tidak perlu pengakuan. Anda tidak dituntut mengatakan “i love you” untuk menyatakan Kasih Sayang, sangat beda dengan jatuh cinta (eros) dimana hampir pasti pasangan mengharapkan dan cenderung menuntut ungkapan “i love you”.

Kasih Sayang sungguh tampak rendah hati dan sederhana. Ia akan indah tersimpan di hati, sama seperti perabot rumah tangga tersimpan di dalam rumah. Mengumbarnya kadang justru membuatnya tampak seperti mengeluarkan perabot yang seharusnya ada di dalam rumah, tampak aneh bukan?

Karena kita sedang membicarakan Kasih Sayang terpisah dari kasih-kasih yang lain, maka dari deskripsi diatas dapat kita lihat bahwa Kasih Sayang adalah jenis kasih paling sederhana. Keberadaannya ternyata kita lihat juga pada kasih-kasih yang lain. Ia adalah bahan dasar yang membaur dengan kasih-kasih lainnya. Mari kita membayangkan jatuh cinta (kasih eros) tanpa Kasih Sayang, atau persahabatan tanpa Kasih Sayang. Saya tak sanggup membayangkan eros dan persahabatan tanpa Kasih Sayang. Karena keberadaannya yang sangat luas, Kasih Sayang mempunyai sifat memperluas wawasan. Saya punya banyak teman dengan latar belakang dan kesukaan yang berbeda-beda. Kasih Sayang pada waktu tertentu membuat kita akhirnya memiliki kesukaan yang sama dengan orang-orang yang kita kasihi.

Kasih ini juga tulus. Tidak menuntut perubahan orang yang kita kasihi. Bahkan kita cenderung tidak menginginkannya berubah. Namun justru disinilah letak bahayanya Kasih Sayang. Ketika berdiri dengan sangat kokoh justru ia berpotensi melukai orang yang terkasih. Pernahkah anda menimang bayi yang lucu dan berharap ia akan terus lucu dengan ukuran tubuh dan kondisi seperti itu? Atau kekasih yang berkata kepada pasangannya, “jangan pernah berubah”. Sepertinya pernyataan itu baik, tapi sebetulnya bodoh. Kehidupan itu dinamis, demikian pula kasih, semestinya juga dinamis. Kita tidak bisa membuat orang-orang yang kita kasihi berada pada kondisi “tetap begitu”.

Salah satu penyimpangan Kasih Sayang lainnya saya contohkan sebagai berikut. Bu Ina adalah sosok ibu yang baik, mengabdi bagi keluarga, mengasihi suami dan anak-anaknya. Tiap hari ia bangun pagi sekali untuk menyiapkan sarapan, ia mencuci, menyapu, menyeterika, dan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga seorang diri tanpa pernah mengeluh. Kasih Sayang dan dedikasinya pada keluarga tidak diragukan lagi. Hal ini berlangsung hingga anak-anaknya dewasa, sampai suatu hari dia mengalami kecelakaan dan meninggal. Keluarga dan masyarakat tidak meragukan kebaikannya. Namun sepeninggalannya, keluarga ini ada dalam kondisi tidak bisa melakukan satu pun pekerjaan rumah tangga. Bu Ina tidak pernah mendelegasikan tugas kepada siapapun, sehingga ia meninggalkan keluarganya sebagai “bayi-bayi” dalam urusan pekerjaan rumah tangga.

Sesungguhnya kadang kita menciptakan kendali atas orang-orang yang kita kasihi dengan cara membuat mereka bergantung pada kita. Walau mungkin itu bukan motivasi kita, tapi dampaknya sungguh menghancurkan. Mungkin kita perlu mengakui bahwa kita takut, bahkan benci jika orang yang kita kasihi tidak lagi bergantung lagi pada kita. Kita merasa tidak diperlukan sehingga merasa cemburu pada hal-hal baru yang membuat mereka berubah dan mandiri. Inilah kengerian saat Kasih Sayang menempatkan dirinya begitu tinggi dalam diri kita.

Jika Kasih Sayang dibiarkan memerintah kehidupan manusia secara mutlak, benih-benih kebencian itu akan muncul. Kasih, jika dituhankan, akan menjadi setan.



Posting sebelumnya dapat dibaca di sini 

Ingin membaca tulisan saya tentang Valentine's Day? lihat di sini

Saturday, February 1, 2014

Cinta (Sebuah Pendahuluan)

Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan saya bulan Feberuari 2013 disini. Selama bulan Februari saya akan membahas semua tentang cinta atau kasih. Baiklah, mari kita mulai.

Berbicara tentang kasih tentu bukan hal yang asing bagi manusia. Dimana-mana di seluruh dunia orang sudah sangat akrab dengan sesuatu yang disebut kasih. Sebagian orang menyebutnya cinta, sayang, suka, atau kasih sayang. Suatu hari seorang kawan pernah bertanya apakah cinta, kasih, dan sayang itu sama atau berbeda. Bagi saya, semua itu identik. Jika kita tilik bahasa Inggris maka kita mendapati bahwa cinta, kasih, dan sayang diterjemahkan sebagai love, sedangkan suka diterjemahkan sebagai like. Mungkin sebagian remaja didoktrin oleh majalah, novel, teenlit, dan sinetron bahwa sayang dan cinta itu berbeda. Mereka akan berkata bahwa sayang belum tentu cinta, tapi cinta sudah pasti sayang. Sungguh amat disayangkan bahwa menurut saya pandangan ini menyempitkan arti cinta sebatas romantisme, dan sayang sebagai kasih yang universal.

Perlu kita akui bahwa bahasa kita sangat terbatas dalam merepresentasikan cakupan/ruang lingkup cinta. Parahnya, bahasa Inggris pun juga mengalami hal yang sama. Seperti kita ketahui bahwa ada berbagai macam cinta di dunia ini. Syukurlah bahasa Yunani mempunyai empat kata yang setidaknya jauh lebih baik dalam berbicara soal cinta secara spesifik. Kali ini saya tidak akan membahas satu-persatu, karena itu akan dibahas pada tulisan-tulisan berikutnya. Sebenarnya cakupan cinta tidak hanya terbatas pada empat kata tersebut, namun itu masih lebih baik dibanding dengan bahasa Indonesia atau Inggris.

Mari kita bahas hal yang paling sederhana, yakni suka. Kata ini sangat universal. Bisa kita kenakan kepada obyek apapun: seseorang, benda, hobi, pekerjaan, aroma tertentu, musik tertentu, warna tertentu, dan sebagainya. Kesukaan ini wajarnya muncul secara alami. Yaitu entah mengapa sesuatu itu memantik rasa suka, yang beberapa orang menyebutnya sebagai selera. Namun ada yang unik, sebenarnya suka bisa juga dikondisikan. Artinya, kita memegang kendali untuk memutuskan menyukai sesuatu atau tidak. Sebagai contoh: Bapak saya sejak kecil selalu menanamkan bahwa saya harus menyukai Matematika. Dari situ saya memprogram diri untuk menyukai Matematika. Saya mulai berkata kepada diri sendiri bahwa Matematika itu menyenangkan, sesulit apapun pasti ada solusinya, dan sangat bermanfaat bagi kehidupan kelak (walaupun saat itu belum tahu seberapa berguna). Syukurlah beliau berkata bahwa saya harus menyukai, bukan bisa/jago Matematika. Sungguh luar biasa, hal itu berjalan dengan baik. Saya bukan orang yang sangat istimewa dalam Matematika, namun saya bukan orang yang mudah menyerah dengan persoalan Matematika. Kesulitan justru menjadi pemicu semangat untuk mencari solusi. Mengapa saya bersemangat? Karena saya menyukainya. Contoh berikutnya: Ketika belajar tentang gizi di SD, saya tahu apa-apa saja yang bermanfaat bagi tubuh. Ketika saya tahu bahwa makanan/minuman tersebut bermanfaat, maka saya mengatakan/memerintahkan pada diri sendiri untuk menyukainya. Terlepas dari beberapa makanan yang rasanya pahit, getir, pedas, dan sebagainya, perintah yang saya berikan kepada diri sendiri ternyata berhasil. Hingga saat tulisan ini saya ketik, saya belum menemukan satu makanan/minuman pun yang tidak disukai, kecuali jika itu merusak tubuh.

Sekarang kita beranjak kepada cinta, dan pertanyaannya adalah: apa itu cinta? Bertahun-tahun saya berusaha mencari definisi dari cinta, tapi sejauh ini cukup sulit untuk mendefinisikan cinta secara sempurnya. Hal ini seperti sudah dibahas diatas, karena cakupan cinta sangat luas sekaligus spesifik. Namun ada kabar baik. Kita masih bisa mengenali hal-hal yang disebut sebagai indikasi adanya cinta, atau perbuatan-perbuatan yang menyiratkan adanya cinta di dalamnya. Dengan kata lain, orang yang mempunyai cinta dalam tingkat yang paling murni akan mempunyai ciri-ciri tersebut. Walaupun kita tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa seseorang melakukan perbuatan-perbuatan itu karena cinta. Mengapa demikian? Karena motivasi dari sebuah tindakan/perbuatan hanya orang tersebut dan Tuhan yang mengetahuinya.

“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”

Saya tidak akan membahas satu-persatu kalimat-kalimat yang sangat elok diatas. Kita bisa merefleksikannya pada diri kita sendiri. Adakah kita telah memenuhi semuanya? Sepertinya kalau kita bercermin dan menilik ke hati kita yang terdalam, kita akan mendapati diri kita jauh dari memenuhi hal-hal tersebut. Kita mendapati diri kita sebagai pecinta yang sangat buruk. Mengapa kita mendapati diri sebagai pecinta yang buruk? Karena sesungguhnya cinta tidak bisa kita hasilkan dengan sendirinya. Cinta seperti yang diindikasikan oleh kalimat diatas adalah cinta yang tidak bisa kita hasilkan sendiri. Seperti sebuah sungai yang mengalir dari gunung ke laut yang memiliki sumber mata air, cinta juga punya sumber yang itu pasti bukan diri kita sendiri. Orang yang tidak pernah atau mendapat cinta, akan sulit untuk mencintai. Kita hanya bisa memberi/berbagi sesuatu yang kita miliki. Jika kita memiliki (hasil dari menerima) kasih yang cuma sedikit, maka kita hanya bisa memberi sedikit kasih itu. Jika memiliki kasih yang banyak, maka bisa memberi kasih yang banyak. Jika merasa tidak dikasihi, maka sangat sulit untuk mengasihi.

Jika anda saat ini sedang dalam keadaan kekeringan kasih, dan menginginkan bahwa orang-orang yang seharusnya mengasihi anda akan datang untuk memberikan kasih itu, saran saya adalah: kubur keinginan anda sebelum anda semakin kecewa terhadap mereka. Lalu darimana bisa didapatkan kasih itu? Dari Sumber Kehidupan lah kita bisa mendapatkannya. Dialah Tuhan, Pencipta kita, yang bukan hanya memberikan kasih, tapi kasih-Nya lah yang sempurnya dan tiada taranya. Tak bisa dibandingkan dengan kasih yang pernah kita harapkan dari keluarga, kawan, sahabat, dan kekasih. Saat kasih-Nya mengisi hidup kita, Ia tidak akan mengisinya separuh, namun penuh, utuh. Sehingga kita tidak akan kekurangan lagi. Dengan demikian, pada gilirannya kita sanggup memberi/membagi kasih itu kepada sesama, dengan jalan membawa mereka kepada Sang Sumber.