Pages

Friday, March 21, 2014

Statusisasi Rohani vs Rohanisasi Status

Inilah contoh status rohani seseorang (sebagian orang). Kalau update status isinya update kegiatan-kegiatan rohani seperti ini:

Minggu

Jam 07:00 update: ”ibadah pagi dulu ya”

Jam 12:00 update status lagi : “jadi singer untuk ibadah siang”

Jam 17:00 update lagi dong : “ayo semangat tim doa KKR malam ini”

Senin

Menjelang jam 22:00 update : “siap-siap ketemu di udara dengan tim doa”

Selasa

Update status jam 18:30 : “doa malam, yeaaah”

Rabu

Bangun tidur langsung update: “yang hari ini doa puasa semangat ya. Nanti sore jangan lupa doa bareng”

Jam 19:00 update lagi : “lagi ibadah doa puasa”

Kamis

Jam 18:30 bikin status : “latihan sama tim P&W buat ibadah minggu”

Jumat

11:00 update : “persekutuan di kampus”

Sabtu

Jam 18:05 : “yooo...berangkat ibadah pemuda. Penyegaran rohani sekaligus mata”

Dan inilah rohanisasi status yang saya lakukan :

Minggu

Jam 06:00 update status : “persiapan pelayanan pagi di taman Bungkul”. Sebenarnya yang saya lakukan: jogging pagi-pagi di taman Bungkul mumpung car free day.

Jam 09:00 update lagi : “mengambil bagian dalam pergerakan Tuhan. Tua-muda, besar-kecil, semua bergerak”. Sebenarnya yang terjadi : ada senam rame-rame waktu car free day.

10:30 update lagi : “berbagi berkat untuk sesama”. Yang terjadi sesungguhnya : mentraktir teman minum es cendol habis berolahraga.

Senin

Update jam 05:30 : “pelayanan ke pasar tradisional”. Kejadian sebenarnya: ngantar ibu belanja kebutuhan sehari-hari ke pasar.

Jam 07:00 : “ada atau tidak ada rekan, pelayanan harus tetap berjalan. Mampukan aku hari ini ya Tuhan”. Kenyataannya adalah : saya ngantor selama 8 jam dimana memang dalam unit kerja saya tidak ada rekan lain, alias jabatan saya cuma ada satu di perusahaan.

Selasa – Sabtu

Update jam 07:00 : idem dengan update hari Senin jam 07:00

Jam 21:00 : “pelayanan kepada anak-anak di jalanan. Puji Tuhan”. Sebenarnya yang terjadi : nongkrong sama teman-teman di warkop pinggir jalan.

Saya tidak bermaksud menyerang siapapun. Tapi kadang saya merasa agak aneh dengan update status yang isinya melulu hanya aktivitas rohani (penekanan pada cetak miring). Bagi saya, akan lebih sedap dibaca dan bermanfaat jika yang ditulis di status adalah pelajaran/nilai-nilai yang dipelajari dari kegiatan-kegiatan tersebut. Jika saya berpikir sedikit lebih jauh, Apa peduliku dengan semua kegiatan rohanimu? Darimana aku tahu kamu benar-benar melakukannya? Apa hasil itu semua? Apa motivasimu melakukan update seperti itu? Supaya kelihatan rohani atau bagaimana? Karena sayapun bisa melakukan rohanisasi status dari kegiatan sehari-hari yang tampaknya tidak rohani.

Kisah di atas hanya rekonstruksi dengan sedikit lebayisasi. Statusisasi rohani diatas adalah hiperbola yang saya kembangkan sendiri. Saya bukan orang yang rajin mengantar ibu belanja ke pasar. Bukan juga pekerja yang kerja 8 jam sehari dari Senin sampai Sabtu. Rohanisasi yang saya tuliskan itu hanya fiktif belaka. Apa yang ingin saya sampaikan dari tulisan di atas adalah: mari belajar lebih bijaksana menggunakan jejaring sosial. Orang lebih senang membaca update tentang pelajaran hidup yang anda dapatkan daripada apa yang anda sedang lakukan. Setidaknya itu berlaku untuk saya. Orang bisa mendapat motivasi dengan pelajaran hidup yang anda bagikan, lebih daripada update kegiatan yang anda sedang kerjakan. Saya mengatakan ini bukan berarti tidak suka sama sekali jika ada yang update "sedang......di......dengan.....", namun dalam pandangan saya kita perlu lebih bijaksana dan proporsional dalam mempergunakan jejaring sosial.

Semoga yang tersindir tidak sakit hati, dan yang tidak tersindir mendapat hiburan.

Friday, March 14, 2014

Merenungkan Kebaikan

Baik itu relatif dalam kacamata obyektif, tapi absolut dalam kacamata subyektif. Kita mungkin berkata hujan itu tidak baik ketika berencana bermain di luar ruangan. Sebaliknya akan berkata itu baik saat sedang menghadapi kebakaran.

Seorang anak berbuat kesalahan, mengakuinya kepada sang ayah, berharap ayahnya serta merta membebaskannya dari konsekuensi yang harus ditanggung. Ayahnya tentu saja memaafkan, tapi konsekuensi tidak bisa dihindarkan, disiplin harus ditegakkan. Bagi si anak mungkin tindakan disiplin itu dirasa tidak baik, tapi dalam pandangan sang ayah itulah kebaikan. Diperlukan beberapa tahun bagi si anak untuk menyadari maksud kebaikan yang terwujud dalam pendisiplinan ayahnya. Bahkan mungkin dia baru bisa memahaminya saat telah menjadi ayah.

Hubungan serupa juga terlihat pada atlet dengan pelatih, murid dengan guru, dan makhluk dengan penciptanya. Kita mengalami didikan, ganjaran, larangan, semata-mata untuk kebaikan. Masalahnya, kita belum bisa melihat kebaikan itu pada saat mengalaminya. Lalu kita bereaksi marah, protes, memberontak, dan pergi. Setelah lama mengembara dan menjadi bijaksana kita teringat akan peristiwa-peristiwa masa lalu yang dulu kita anggap sebagai kejahatan, kemalangan, keburukan, ternyata itulah yang membuat kita menjadi bijaksana. Kita mulai sadar dan berterimakasih kepada para pendidik terdahulu.

Namun saat kita beranjak kepada Tuhan, kebaikan itu menjadi lebih sulit untuk diukur. Definisi kebaikan menurut kita sangat jauh jika dibandingkan dengan Tuhan. Kita mungkin berangan atau berkhayal bahwa Tuhan seharusnya memenuhi kriteria kebaikan yang kita tetapkan. Tuhan yang baik itu seharusnya begini dan begitu. Padahal dengan demikian kita justru menciptakan tuhan khayalan yang sesuai kemauan kita, yang dapat diatur sesuai standar kita. Dan tuhan yang dapat diatur oleh manusia pastilah tidak lebih hebat dari manusia. Dengan kata lain ia pasti cuma manusia atau sesuatu yang lebih rendah dari itu. Secara tidak langsung, kita mendaulat diri lebih besar daripada tuhan. Inilah pemberhalaan yang bodoh.

Padahal Tuhan yang sejati seringkali bertindak lebih ekstrem dari orangtua, guru, dan pelatih kita. Kita lebih sulit memahami cara-Nya menunjukkan kebaikan. Kebangkrutan, penyakit, bencana, bahkan kematian yang menurut kita tidak adil dapat dipakai untuk menunjukkan maksud baik-Nya. Hanya Dialah satu-satunya yang bisa menggunakan instrumen-instrumen tersebut untuk maksud kebaikan. Kebaikan yang saat ini belum mampu dijangkau oleh pemikiran kita. Bahkan sampai berakhirnya riwayat bumi pun mungkin kita tak akan sanggup.

Definisi kita tentang kebaikan sungguh rapuh, baik jika diterapkan kepada sesama manusia, makhluk lain, ataupun alam semesta, terlebih Tuhan. Keberadaan kejahatan memerlukan lebih dari sekedar pengertian bahwa semuanya akan berujung pada kebaikan. Keberadaan kejahatan adalah pertanda bahwa kita harus semakin bertindak baik. Kejahatan tidak dapat dikalahkan dengan kejahatan, tapi dia dapat dilenyapkan oleh kebaikan. Kita tidak dapat memadamkan api dengan menggunakan api, kita perlu air untuk memadamkannya.

Monday, March 3, 2014

Kasih Ilahi

Salam jumpa pembaca yang budiman. Sampailah kita pada bagian tersulit yang harus saya tulis mengenai kasih. Saya sebut tersulit karena menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia saja sangat sulit. Kedua, karena saya tidak bisa menyembunyikan pandangan teologis yang saya yakini. Dan yang paling membebani adalah bahwa kasih ini adalah kasih yang paling agung yang sanggup diberikan oleh manusia.

Saya menyebutnya kasih ilahi. Beberapa orang menyebutnya agape atau kasih tanpa syarat. Sampai saat ini saya belum membandingkan prioritas dari kasih-kasih yang kita alami. Namun kini hal ini tidak bisa saya hidari lagi. Ada satu kasih yang menuntut untuk diprioritaskan melebihi kasih-kasih yang lain. Sebenarnya, apakah ada masalah jika kita terlalu besar mengasihi orangtua, anak, sahabat, atau kekasih kita? Sejauh yang saya renungkan, yang menjadi masalah bukanlah bahwa kita mengasihi mereka terlalu besar. Masalah sesungguhnya adalah kita mengasihi mereka lebih besar daripada kasih kita kepada Tuhan.

Seperti kita ketahui bahwa apapun yang kita kasihi berpotensi menjadi tuhan, dan jika tuhan kita bukan Tuhan maka pastilah dia setan. Dia menjadi setan bukan semata-mata karena kejam, tapi karena kita menjadikannya demikian dalam hidup kita. Tuhan itu cemburu. Jika kita mengaku memperhambakan diri pada-Nya maka Dia menuntut kasih kita kepada-Nya berada di posisi teratas. Ada kalanya Ia akan menyingkirkan tuhan-tuhan kecil dalam hidup kita supaya Ia tetap jadi satu-satunya Tuhan yang bertahta atas hati kita. Proses ini yang seringkali membuat kita merasa kesakitan. Namun saat kita mengeraskan hati, maka kita sedang menyingkirkan-Nya dari tahta hati kita. Dan saya pikir itu adalah tindakan yang pasti akan kita sesali. Dari sini kita belajar untuk menundukkan kasih-kasih yang lain di bawah kasih ilahi. Kasih-kasih yang lain boleh tetap tinggal dengan syarat dikendalikan oleh kasih ilahi, atau kalau tidak demikian maka lebih baik dia mati sama sekali.

Tapi agape pasti bohong atau pura-pura jika tidak terwujud dalam bentuk kasih yang lain. Bukti bahwa kita mengasihi Tuhan adalah adanya tindakan kasih terhadap sesama. Orang yang mengasihi Tuhan mustahil membenci sesamanya. Kita belajar mewujudkan kasih kepada yang tidak kelihatan dengan cara mengasihi yang kelihatan. Kita sesungguhnya belajar mempraktikkan cara Tuhan mengasihi kita dengan meniru bagaimana Dia mengasihi kita. Tindakan kasih-Nya saat Dia mengampuni, memaafkan, menerima, merawat, memotivasi, dan sebagainya adalah kekuatan dan modal kita untuk menularkannya kepada sesama. Seperti telah saya sampaikan pada tulisan sebelumnya, bahwa kita hanya dapat memberi apa yang kita miliki, maka kita bisa memberi kasih kepada sesama karena kita telah menerima kasih dari Tuhan.  

Namun ada lagi yang membedakan kasih kepada Tuhan dengan kasih lainnya. Tanda kedewasaan kasih pada manusia adalah kesediaan kita untuk kehilangan. Semakin dewasa kita mengasihi seseorang maka kita semakin sanggup kehilangan, sanggup mandiri, sanggup melepas orang yang kita kasihi, karena kita tahu bahwa kebahagiaan dan keindahan kekasih itu lebih berharga daripada keegoisan kita untuk terus menggenggamnya. Kita akan lebih suka memberi daripada menerima dalam hubungan kita dengan orang-orang yang kita kasihi. Bahkan pada titik tertentu kita hanya ingin memberi tanpa menerima. Namun hal ini berbeda dengan kasih kepada Tuhan. Semakin kita mengasihi-Nya, semakin kita bergantung kepada-Nya, semakin ingin lebih lekat dan tak terpisahkan dengan-Nya. Dalam natur kita yang telah rusak oleh dosa, ketergantungan dan ketidaklayakan kita di hadapan-Nya menumbuhkan pula penghormatan dan penghargaan kepada Tuhan. Penghormatan dan penghargaan kita kepada-Nya membuat kita ingin selalu memberi dan berupaya menyenangkan-Nya dengan seluruh hidup kita, dengan segenap pemberian kita. Namun demikian, kita tidak bisa berkata bahwa kita hanya ingin memberi tanpa menerima dari-Nya, karena itu sama saja kita berkata dengan sombongnya kepada Tuhan, “aku tidak perlu kasih-Mu”.

Akhirnya, kasih ilahilah yang memampukan kita mengasihi sesama dengan tulus. Yang membuat kita sembuh saat keinginan kita akan kasih sesama terkoyak. Ketika kita mempunyai kasih yang mampu memenuhi seluruh hidup kita, maka kasih yang lain tidak lagi menjadi pemuas dahaga kita lagi. Ketika kasih yang kokoh telah menguatkan kita, maka kita tidak lagi rapuh oleh harapan palsu yang ditawarkan kasih-kasih lainnya. Karena kasih inilah yang tidak pernah berdusta, tidak pernah ingkar, dan tidak pernah meninggalkan kita.
 
Apa yang saya sampaikan sekarang mungkin bukan sesuatu hal yang baru bagi pembaca sekalian. Maka itu ijinkanlah saya mengajak anda untuk merenungkan kasih kita kepada-Nya. Benarkah dalam keseharian kita, kasih kita kepada-Nya telah ada di tempat yang seharusnya? Ataukah kita telah terlalu sibuk mengasihi kekasih kita dan hanya menyisakan beberapa menit untuk merenungkan kasih-Nya? Bukankah semestinya hari-hari kita dipenuhi kasih-Nya? Bukankah kasih ilahi yang semestinya menggerakkan kita untuk mengasihi sesama?
 
Semoga tulisan ini bermanfaat.