Pages

Wednesday, July 23, 2014

Fakta Kasih

Adanya kemiskinan, nestapa, dan kejahatan di bumi adalah fakta yang tidak bisa kita sangkal. Hampir setiap hari kita membacanya di koran, mendengarnya di radio, dan menyaksikannya di TV. Bahkan jika rajin memperhatikan, kita akan mendapati bahwa media menyediakan kolom atau ruang khusus bagi berita semacam itu.

Fakta ini berbicara setidaknya dua hal kepada saya. Pertama, semua itu dialami oleh manusia. Kedua, hampir semuanya itu berasal dari manusia. Manusia mencelakakan manusia, manusia memiskinkan manusia, manusia melahap manusia. Sebuah tragedi yang memilukan karena seingat saya manusia tercipta untuk saling mengasihi dan menolong.

Ada orang yang berkata bahwa ini adalah penyimpangan, penyalagunaan, atau penyangkalan akan tujuan penciptaan manusia. Beberapa yang lain berkomentar kian kemari tanpa solusi. Terlepas dari semua itu, di belahan dunia manapun, selalu muncul orang-orang yang peduli. Saya sering tertegun dan menelan ludah menyaksikan orang-orang yang menolak diam dan menyerah. Kita bisa menemukan mereka di tengah-tengah masyarakat kita. Ketika sebagian orang cuma bisa mencibir, mereka bertindak. Ketika yang lainnya hanya berteriak di jalanan, mereka menyingsingkan lengan baju dan berbuat sesuatu.

Bagi orang-orang ini, kemiskinan, nestapa, dan kejahatan adalah fakta. Namun mereka berbuat untuk merubahnya alih-alih menggerutu. Bagi saya pun berlaku suatu yang saya sebut kebenaran, bahwa sekuat apapun kita berusaha, akan selalu ada orang-orang miskin yang membutuhkan uluran tangan kita. Di dunia yang fana ini, Tuhan telah mengatur bahwa sebagian orang yang berlebih harus berbagi kepada sebagian orang lain yang berkekurangan. Semakin banyak kejahatan justru harus membuat kita terpacu untuk menebar kebaikan. Jika kejahatan menebar kebusukan, mari kita menaburkan bibit bunga kebaikan. Karena saya yakin suatu saat bibit itu akan tumbuh dan berbunga. Saat angin menerpanya, ia melepaskan aroma wangi yang terus dibawa angin itu kemanapun berhembus.

Adanya kemiskinan, nestapa, dan kejahatan semestinya membuat kita makin giat berbuat baik, walaupun kita tidak dapat menghapuskannya sama sekali dari muka bumi. Kita ada untuk saling melengkapi. Manusia ada untuk saling mengasihi. Saya memilih untuk mengasihi sesama, tak peduli asal usul dan sifatnya. Saya memilih untuk melengkapi kekurangan orang lain, tanpa mempertanyakan siapa yang akan melengkapi kekurangan saya. Karena saya percaya, di luar sana ada orang-orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan saya, maka Tuhan akan mempertemukan saya dengan mereka yang akan melengkapi kekurangan saya.

Para pembaca mungkin menganggap saya sedang bermimpi atau berkhayal. Namun, sama seperti nyatanya fakta pahit yang tersaji oleh media, demikianlah nyatanya kasih sayang manis yang menyembuhkan.

Saya memilih bertindak dengan kasih. Bagaimana dengan anda?

Friday, July 18, 2014

Cita-cita Buku Sejarah

Pagi ini, saat pulang kerja, seperti biasa saya melewati sebuah pemakaman. Saat melaluinya tercium bebauan khas. Aroma tanah basah dan semerbak bunga kamboja memberi kesan menyegarkan.

Pemakaman terlewati, dan seketika itu saya teringat bahwa itulah rumah bagi raga jika jiwa berpulang kepada Sang Empunya. Ya, kematian adalah hal paling pasti dari kehidupan yang fana di bumi.

Seketika ingatan saya meluncur pada belasan tahun lalu ketika masih duduk di setelah dasar (SD). Saat SD saya pernah punya cita-cita agar nama saya tertulis di buku sejarah nasional. Terasa cukup lucu jika dipikirkan lagi saat ini.

Sambil tetap berkendara saya berpikir betapa polosnya keinginan saya waktu kecil. Ingin namanya tertulis di buku sejarah tapi tidak terbayang sejarah apa yang dibuat. Maka kemungkinan apapun terbuka untuk mengisinya. Inilah salah satu kekurangan saya(mungkin sebagian orang menganggapnya kelebihan) bahwa saya lebih suka berpikir garis besar daripada spesifik. Kabar baiknya, saya bisa mengisi buku sejarah sebagai siapa dan apa yang mengerjakan apapun, yang di kemudian hari tidak berpotensi membuat malu karena cita-cita spesifiknya meleset. Namun pola pikir itu juga membuat saya menjadi orang dengan kemampuan pas-pasan, merata di beberapa bidang. Bisa ini itu dengan kemampuan yang biasa.

Dengan kemampuan biasa saja ini tentunya sangat sulit bagi saya untuk menorehkan nama di buku sejarah nasional. Karena untuk bisa dikenang secara nasional saya harus punya prestasi spesifik dengan tingkat kemahiran tertentu. Saya bisa melakukan kebaikan yang ultimate, atau justru sebaliknya keburukan yang nyleneh. Dari sini saya menarik dua pelajaran. Pertama, saya perlu menjadi lebih spesifik. Kedua, saya harus meningkatkan level.

Sebenarnya saya sudah tidak terlalu tertarik mengejar cita-cita polos itu. Mungkin karena sampai sekarang belum ada prestasi yang layak membuat nama saya dicetak pada buku sejarah nasional. Namun, saya masih punya keinginan besar untuk berdaya guna bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Memberi warisan teladan bagi generasi berikutnya. Membuat anak cucu saya bangga bahwa mereka dilahirkan dari keturunan orang yang mengabdi pada negeri dengan setia melalui caranya sendiri.

Wednesday, July 16, 2014

Jumpa Pertama

Perjumpaan pertama dengan seseorang bisa memunculkan kesan tertentu. Ada yang sangat terkesan baik, pun juga sangat buruk, ada yang kurang berkesan, dan lainnya justru tidak berkesan sama sekali. Bagi yang sangat berkesan mungkin peristiwa itu masih terekam sampai ke setiap detailnya. Bagi yang sama sekali tidak berkesan, jangankan detailnya, peristiwanya pun mungkin sudah lupa.

Berbicara tentang perjumpaan pertama, pikiran saya segera mengarah kepada perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Cukup banyak terdengar kisah-kisah luar biasa dari pribadi-pribadi yang mengalami perjumpaan pertama dengan Tuhan. Sebagian sangat spektakuler, sebagian cukup spektakuler, dan sebagian lagi terasa biasa. Tetapi apapun nuansa yang terkesan diantara para pemirsa, bagi pelaku pengalaman itu sangat berharga dan mengubahkan.

Bagi saya secara pribadi, perjumpaan pertama dengan Tuhan tidak terjadi secara spektakuler dan gegap gempita. Dia menyapa saya di kamar, pada Desember 1998. Ketika itu saya baru beberapa bulan menyandang status sebagai siswa SLTP atau SMP. Saya tipikal anak yang biasa saja pada waktu itu. Tidak terlalu nakal, juga tidak terlalu polos. Saya merasa tidak ada yang salah atau kurang dalam diri. Mungkin ada beberapa hal yang saya harap bisa berubah berkenaan dengan kondisi keluarga, namun itu bukan hal yang terlalu besar kala itu.

Sudah menjadi kebiasaan keluarga kami untuk nyetel radio Bahtera Suara Yudha dari pukul 5 pagi hingga 12 malam. FYI, radio itu adalah radio di Surabaya yang pada waktu itu boleh dikatakan pertama dan satu-satunya ber-genre rohani. Memasuki bulan Desember tema Natal selalu menghiasi setiap program. Lagu-lagu, perbincangan, dan khotbah-khotbah pun sebagian besar bertemakan Natal. Kisah tentang Anak Allah yang turun ke dunia karena kasih untuk pertama kalinya meresap ke dinding hati. Hari demi hari resapan itu menembus hati, membuatnya basah, hingga meluap memenuhi jiwa dan roh.

Saya tidak ingat apa yang sedang saya dengarkan ketika itu, namun jiwa saya merasakan kehausan yang dahsyat. Perlahan saya mulai membaca kitab-kitab Injil. Tidak seluruhnya, hanya cuplikan-cuplikan tertentu, hingga pada Injil Yohanes air mata mulai berlinang. Dengan siaran radio yang sayup-sayup berkumandang, jiwa ini terlingkupi oleh sejenis cinta yang aneh. Cinta yang belum pernah saya kenali sebelumnya. Melebihi cinta orangtua yang selama ini saya nikmati. Cinta yang aneh dan tak terbendung ini sungguh memabukkan. Dengan mulut bergetar dan terasa asin oleh air mata saya berdoa, : "Yesus, aku mengasihi-Mu. Terimakasih karena Kau mengasihiku lebih dulu dan datang ke dunia untuk menebus dosaku. Aku orang berdosa, ampunilah aku. Aku buka hatiku, masuklah dan jadilah Tuhan atas hidupku, selamanya. Amin". Doa ini mirip formula doa yang sering saya dengar di akhir film Yesus Kristus. Ya, karena memang film itu hampir setiap tahun diputar di TV, pun audionya diputar di radio, maka tidak sulit bagi saya untuk mengingatnya.

Kasih dan pengampunan-Nya mengalir seperti sungai yang menyegarkan. Seluruh tubuh ini serasa sedang hanyut dalam suatu aliran yang menenggelamkan namun tak mematikan. Sejak saat itu saya mengerti artinya diampuni dan ditebus, dimerdekakan serta dijadikan warga negara yang bebas, warga kerajaan Tuhan.

Selama beberapa menit kemudian waktu terasa lambat berlalu. Dengan badan yang rebah di atas kasur, dengan lelehan air mata yang masih membasahi pipi, saya hanya menikmati saat berdua dengan-Nya sambil tersenyum. Jika ada orang yang masuk dan melihat kondisi saya pada waktu itu, mungkin dia akan berpikir saya aneh karena nangis sambil senyum-senyum sendiri di kamar. Musik rohani masih terlantun melalui radio, melantunkan pujian yang dibawakan Giving My Best,

Jadikan aku indah
Yang kau pandang mulia
Seturut karya-Mu
Di dalam hidupku
Ajar ku berharap
Hanya kepada-Mu
Taat dan setia
Kepada-Mu Tuhan

Dan hari itu, untuk pertama kalinya doa itu terucap dari mulut saya. Di kamar, seorang diri, tanpa altar call, dalam kesederhanaan suasana, dalam keculunan seorang bocah 12 tahun, jumpa pertama dengan cinta pertama yang menjadi awal jalinan cinta Khalik dan makhluknya.

Kini, hampir 16 tahun sejak peristiwa itu berlalu, kisah cinta itu terus terajut. Tak selalu indah karena kadangkala saya membuat kekacauan, tapi Dia tak pernah menyerah. Itulah sebabnya saya pun tak ingin menyerah. Ujung dari kisah ini adalah perjamuan kawin dan kebersamaan kekal dengan-Nya. Namun sebelum semua itu terjadi, saya harus membuktikan kesetiaan iman.

Inilah kisah yang biasa dari orang biasa yang diangkat oleh Tuhan yang luar biasa untuk menjadi bagian dari rencana-Nya yang luar biasa di sepanjang sejarah umat manusia.

Bagaimana kisahmu?