Dalam waktu kurang dari dua
minggu bibir saya sudah tergigit tiga kali. Semua terjadi pada saat mengunyah
makanan. Peristiwa pertama meninggalkan luka kecil. Tiga hari kemudian ketika
luka yang pertama hampir sembuh, terjadilah gigitan yang kedua. Gigitan yang
kedua terjadi di tempat yang sama. Saya cukup kesal dengan hal itu, karena
selain sakit, juga mengakibatkan luka yang lebih besar. Luka pertama yang
hampir sembuh ditambah gigitan kedua menyebabkan lukanya jadi lebih besar dari
sebelumnya. Bukan hanya lebih besar, tapi juga menimbulkan bengkak atau benjol
di area luka.
Dan gigitan yang ketiga terjadi
beberapa menit yang lalu (tiga hari setelah peristiwa kedua), juga terjadi di
tempat yang sama. Reaksi pertama yang muncul adalah saya berkata dalam hati,
“Kapan mau sembuhnya kalau begini lagi?”. Dan sesaat kemudian, dalam waktu yang
sangat singkat, ada suara dalam hati yang berkata, “Demikian juga orang yang
kembali melakukan kesalahan di tempat yang sama berulang kali”. Deg, saya
langsung tertegun, “Tuhan, apakah Engkau sedang ingin menyampaikan suatu pesan
kepadaku? Apakah ini sebuah teguran untukku?”. Jawabannya adalah “Ya” untuk
semua pertanyaan itu.
Tubuh kita punya kemampuan self-healing atau menyembuhkan diri
sendiri saat terjadi luka. Tapi sementara proses itu berlangsung, dan
percederaan yang terjadi di tempat yang sama, maka sangat mungkin luka akibat
peristiwa kedua akan lebih besar dan butuh waktu lebih lama untuk dipulihkan.
Bagaimana jika itu berlangsung terus menerus? Tentu luka itu tidak akan pernah
sembuh. Bagian terburuknya adalah luka itu akan terus membesar, dan tidak
menutup kemungkinan akan menjadi sangat membahayakan jiwa.
Peristiwa ini membuat saya
merenung. Sepanjang hidup, kita beberapa kali mengalami “luka”. Kalau mau jujur
diakui, sebagian besar bahkan hampir seluruhnya kita buat sendiri. Luka timbul
akibat kesalahan, dosa, yang memang kita lakukan. Saat kita bertobat, maka dosa
seketika itu diampuni, tapi luka akibat dosa itu perlu waktu untuk
memulihkannya. Kebodohan kita adalah menganggap setelah diampuni maka kita lupa
untuk berhati-hati agar tidak mengusik atau mengambil tindakan yang
membahayakan luka tersebut. Kita berperilaku seolah-olah luka itu telah sembuh.
Kita sembrono menjalani hidup, sehingga di kemudian hari melakukan kesalahan di
tempat yang sama.
Dosa bukan hanya
memberontak/tidak taat kepada Tuhan, namun juga menyakiti diri sendiri.
Beberapa hari ini saya sedang dididik untuk tidak bersungut-sungut dan mencobai
Tuhan. Dalam kalimat positif, Tuhan sedang mengajar dan mendidik saya untuk
selalu bersyukur dan percaya kepada-Nya. Ya, sejujurnya saya telah banyak jatuh
dalam kedua hal itu saat saya merenungkan perjalanan hidup saya beberapa tahun
terakhir. Tuhan benar-benar menghajar saya tentang apa arti bersyukur dalam
segala hal dan percaya kepada-Nya, sampai kepada hal-hal yang sederhana. Saat
kita bersungut-sungut, kita sedang menyakiti Tuhan dan diri sendiri. Saat kita
mencobai Tuhan pun demikian adanya.
Setiap pribadi ada dalam
pemrosesan yang unik. Saya tidak tahu apa yang sedang dikerjakan Tuhan dalam
hidup pembaca yang budiman hari-hari ini. Namun saya ingin berbagi pelajaran
sederhana dari peristiwa luka gigitan di bibir. Jangan membuat kesalahan di
tempat yang sama. Karena bukan hanya itu berarti kita adalah orang yang dungu
dan bebal, namun itu membuat kita makin terluka. Kabar baiknya, Tuhan mau dan
mampu menyembuhkan luka kita. Luka batiniah tidak sembuh dengan sendirinya
seperti luka lahiriah. Manusia batiniah kita perlu Tuhan untuk membuat
luka-luka itu sembuh. Tuhan telah bersedia dan Dialah satu-satunya yang sanggup
membuat luka batiniah kita sembuh dengan sempurna, Kesembuhan sejati, bukan
kesembuhan semu seperti yang ditawarkan dunia. Semoga tulisan sederhana ini
bermanfaat.