Pages

Friday, April 19, 2013

Tahun Tahun Sisa Hidupku Yang Singkat

Pernah terbayang di pikiran bahwa umurku tak akan lama lagi. Ini bukan pikiran orang yang sedang putus asa karena penyakit ganas, karena saat ini tubuh ini terasa sangat sehat. Bukan pula putus asa karena gagal mencapai tujuan atau semacamnya. Hanya saja, kadang aku merasa hidupku tak akan lama lagi.

Terlepas dari apakah itu sekedar firasat atau memang efek samping dari kebanyakan ngopi, akhirnya aku mulai merenung. Ada banyak impian yang jika aku harus mati sekarang mungkin tak akan ada yang meneruskannya. Tentu saja, karena aku belum punya keturunan jasmani. Bahkan jika sudah punya pun, akankah anakku akan meneruskan impianku? Bukankah setiap pribadi itu unik? Dan tiap-tiap pribadi punya impian yang belum tentu sama dengan ayah mereka. Hal yang paling jelas adalah hidupku sendiri. Aku memilih jalan hidup yang berbeda dengan ayahku. Beberapa orang mempertanyakan mengapa aku tak meneruskan usaha yang beliau rintis. Semua kujawab enteng, karena aku bukan ayahku.

Kemudian perenungan membawaku bertanya, apa untungnya tahu kapan akan mengalami kematian? Apakah aku tidak takut mati? Bahkan mungkin jika mati konyol. Database otak membaca suatu pernyataan dari orang yang tak kuingat siapa namanya yang berkata, "lebih baik mati konyol daripada hidup konyol". Sedikit banyak aku setuju dengan hal itu, walau jika boleh memilih pasti ingin hidup terhormat dan mati terhormat.

Kembali kepada pertanyaan, apa untungnya tahu kapan kita akan mati? Bukankah nanti justru menimbulkan ketakutan? Mungkin saja iya. Mengetahui kapan hidup ini akan berakhir sangat mungkin menimbulkan rasa takut. Namun, ketika mengingat bahwa kematian adalah jalan pulang menuju rumah yang sesungguhnya, justru rasa senang dan rindu yang muncul. Mungkin pula ada beberapa keuntungan jika tahu kapan akan menghadapi kematian. Hal paling sederhana, mungkin akan mendatangi orang-orang terkasih dan mengucapkan "i love you" sesering mungkin. Bisa jadi mendatangi orang-orang yang berjasa selama hidup dan mengucapkan "terimakasih". Atau mendatangi orang-orang yang pernah kita kecewakan atau sakiti dan berkata "tolong maafkan aku". Bahkan hingga hal yang sedikit lebih rumit, yaitu mencoba mewujudkan impian-impian sebisa yang sanggup dicapai. Mewariskan impian-impian kepada siapapun yang memiliki mimpi yang sama. Dan berbicara tentang warisan, timbullah pertanyaan baru, apakah yang telah dan akan kuwariskan bagi generasi mendatang? Apakah cara hidup yang konyol ataukah teladan yang baik? Orang dikenang melalui apa yang ia wariskan bagi sejarah umat manusia.

Membayangkan bahwa akan berpulang ke rumah sejati sungguh memunculkan semacam pengharapan dalam hati. Bukan ketakutan, namun kekuatan. Itulah yang membedakan berpikir tentang kematian bagi mereka yang patah asa dengan yang tidak. Orang yang patah asa ingin mengakhiri hidup karena ingin lari dari kenyataan, tapi orang yang berpengharapan menantikan kematian sebagai jalan pulang bukan dengan menyia-nyiakan waktu yang tersisa, melainkan mengisinya dengan makna.

Mungkin bagi sebagian orang aku terkesan aneh karena membicarakan kematian diri sendiri dengan antusias. Tapi inilah aku. Aku tidak gila. Aku manusia normal. Aku tidak akan menjemput kematian dengan membuatnya datang lebih cepat. Aku menantikannya. Seperti seorang yang menanti kekasihnya dengan penuh kerinduan dan pengharapan.

Pemikiran sering membawaku melesat ke perenungan dan petualangan alam imaji. Pada beberapa petualangan, aku menjadi sangat sentimental sehingga lebih memilih aku daripada saya, seperti yang sekarang terjadi. Dalam hidupku yang singkat, aku ingin mewariskan teladan yang layak dibaca generasi berikutnya sebagai teladan luhur. Menjalani hari-hari kedepan seolah masih ada ratusan ribu hari, dan menanti seolah sang kekasih akan datang menjemput hari ini.

0 comments: