Pages

Thursday, April 25, 2013

Renungan Hati

Hatiku adalah milikku. Tak kan kuberikan pada siapapun, kecuali aku tahu ia akan menjaganya dengan baik. Tapi bagaimana aku bisa yakin ia akan menjaganya? Bagaimana aku tahu bahwa ia tak akan menyakiti hatiku jika aku memberikannya? Kurasa tak ada jaminan siapapun tak akan menyakiti di kemudian hari, karena itu tak kan kuberi hatiku pada siapapun. Selama hatiku tetap bersamaku, orang lain tak kan kubiarkan menyentuhnya. Tak ada jaminan sentuhan lembut tak akan berubah jadi pukulan yang menyakitkan. Sentuhan yang mereka sebut kasih sayang pun bisa berubah menjadi kepalan tinju karena cemburu.


Namun, jika aku tak ijinkan siapapun menyentuh hatiku, maka hidupku akan terlihat dingin. Kebaikan siapapun akan terasa biasa, tak ada penghargaan atau terimakasih. Setiap interaksi dengan siapapun aku akan menjadi seperti robot. Robot melakukan segala sesuatu karena memang begitulah seharusnya dia diprogram. Dan jika kulakukan itu, maka aku akan menjadi lebih hina daripada anjing. Karena anjing tahu berterimakasih dan mengabdi dengan rasa senang. Apa yang lebih hina daripada anjing? Tentu saja kotoran anjing. Dan lihatlah, perenungan ini telah mendapat satu pencerahan bahwa anjing lebih mulia daripada robot, bahkan jika kita punya robot yang harganya puluhan kali harga anjing.


Baiklah, jika memang melindungi hati dari sentuhan orang lain membuatku lebih rendah daripada anjing, lantas bagaimana agar hatiku tak tersakiti? Ketika aku berpikir lagi ternyata muncul pertanyaan baru, apakah ada jaminan bahwa hatiku tak akan tersakiti oleh orang lain jika aku menjaganya agar tak tersentuh mereka? Lebih tepatnya, adakah pribadi lain selain orang lain yang berpotensi menyakiti hatiku? Aaaargh...ternyata ada, dan itu adalah aku sendiri. Bahkan jika dihitung-hitung, yang paling sering menyakiti hatiku adalah diriku sendiri. Semoga saja tidak banyak orang yang seperti aku, yang mendapati bahwa diri sendiri ternyata adalah pelaku paling bengis dan paling sering menyakiti hati dibandingkan orang lain. Pikiranku yang suka terbang kemana-mana, otak bodoh yang sering memikirkan hal-hal aneh, keinginan dan perhitungan muluk-muluk yang terjadi dalam diri, itulah yang kerap menghasilkan kekecewaan, kekuatiran, dan menyakiti hati.


Sampai disini aku menyadari tidak ada tempat yang benar-benar aman, tanpa resiko tersakiti, dimana aku bisa meletakkan hatiku. Aku menyadari bahwa esensi menjadi manusia adalah melakukan setiap tindakan dengan pertimbangan akal dan hati nurani, lebih daripada binatang. Akupun menyadari bahwa melakukan akivitas dengan hati, berinteraksi dengan orang lewat hati, sama halnya membiarkan hati kita disentuh oleh orang lain, mengandung resiko yang tak terelakkan yaitu tersakiti, patah hati, dan semacamnya. Akhirnya ada kalimat penutup untuk petualangan ini,

"Jika tak ingin patah hati jangan pernah memberi hati, namun jika tak mau memberi hati jangan jadi manusia".


Eits, pengembaraan belum selesai karena masih ada satu petualangan yang belum diungkapkan. Petualangan ini mungkin akan disebut oleh kaum atheis sebagai bualan atau omong kosong, tapi karena aku mengalami secara pribadi maka aku mengimani, bukan halusinasi, ilusi, atau keyakinan tak berdasar. Memang pengalaman itu subyektif, namun pengalaman yang dialami jutaan manusia dari masa ke masa membuat mataku terbuka lebar, tidak ada ilusi atau halusinasi yang bisa bertahan bahkan berkembang ribuan tahun. Apa yang sedang kubicarakan adalah tentang suatu Tempat, yang akhirnya kutemukan (lebih tepatnya Dia yang menemukanku), yang kepada-Nya aku bisa percayakan hatiku seutuhnya. Dialah Sang Ilahi, Sumber kehidupanku dan yang kepada-Nya hidupku bermuara. Satu-satunya Pribadi yang telah terbukti tak pernah menyakiti ataupun mengecewakan. Akhirnya, kalimat penutup pengembaraan yang morat-marit ini adalah,

"Jika kau percaya Sang Ilahi, yang kepada-Nya kau memperhambakan diri, percayakan hatimu pada-Nya, bukan hanya hatimu, tapi seluruh hidupmu. Karena hamba adalah milik Tuan, dan Sang Tuan tak pernah mengecewakan hamba, justru hamba lah yang seringkali mengecewakan Tuan".


* Kalimat dalam tanda kutip itulah yang kuucapkan pada diri sendiri.

0 comments: