Pages

Wednesday, May 8, 2013

Padi dan Tong

Padi dan tong, mungkin ini dua hal yang tidak umum dimunculkan secara bersamaan dalam satu judul. Ini juga bukan plesetan dari lambang ke-lima dari Pancasila yaitu padi dan kapas. Ini adalah kisah tersendiri antara padi dan tong.


Filosofi padi, semakin berisi semakin merunduk. Semakin hari saya semakin sering bertemu dengan orang-orang sederhana yang luar biasa. Mereka adalah orang-orang dengan kompetensi hebat yang boleh jadi tidak terekspos karena tidak pandai mencitrakan diri sebagai orang hebat. Cara hidup mereka sederhana, perkataan mereka sederhana, namun kesederhanaan itu penuh makna. Saya menyayangkan bahwa kualitas seperti ini yang menurut saya lebih daripada mereka yang berdiri di panggung dan mimbar, harus "tidak terlihat" oleh karena kesederhanaan mereka. Namun ketika berpikir ulang, saya menyadari bahwa setiap pribadi punya peranan dan "panggung" masing-masing di dalam dunia. Toh masih ada orang berisi dan sederhana yang berada di panggung gemerlap, contohnya Jokowi. Orang-orang sederhana ini tidak peduli apakah mereka akan terkenal atau tidak. Yang mereka pedulikan adalah bagaimana dirinya minimal tidak menyusahkan orang lain, terlebih lagi bagaimana mereka dapat menolong orang lain. Kearifan mereka memberi kesaksian bahwa dengan berbagi mereka mengalami multiplikasi, dengan memberi mereka tidak kekurangan, justru makin bertambah-tambah.


Sebaliknya, tong kosong nyaring bunyinya. Orang-orang yang sok tahu atau berlagak tahu biasanya adalah orang-orang yang sedikit tahu. Dengan pengetahuan yang sedikit tapi sudah merasa hebat, orang-orang ini berkoar-koar tentang sesuatu yang sebenarnya hanya mereka ketahui secara dangkal. Harap maklum, awal kita memperoleh pengetahuan adalah saat paling menggairahkan. Dan saat pengetahuan itu digali lebih dalam, biasanya gairahnya tak sehebat saat pertama. Namun lebih baik untuk terus menggali dengan gairah yang meredup daripada muncul ke permukaan dengan pengetahuan yang dangkal. Dari penggalian itu didapati nilai-nilai kearifan, kesederhanaan, keuletan, dan seni mengelola diri. Orang yang terus menggali tahu bahwa diperlukan upaya dan keringat lebih banyak, perhatian lebih banyak, keseriusan lebih banyak, dan kesabaran lebih banyak. Mereka juga mengantisipasi kebosanan, karena sangat sulit untuk tidak bosan melakukan sesuatu di ladang yang sama selama bertahun-tahun. Namun di ladang yang sama itu, saat kita menggali, akan ditemui hal-hal baru yang memperkaya diri dan menjadi obat penawar bagi kebosanan.


Saya akan memberi contoh sederhana yang bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari tentang dua tipe manusia berdasarkan tingkat keberisiannya. Salah satu contoh tong kosong adalah mahasiswa yang doyan demonstrasi. Menentang ini itu, menolak ini itu, dan menuntut ini itu. Kita bisa teliti seberapa besar demonstrasi itu solutif dan konstruktif. Apakah mereka memberi solusi atau hanya berteriak? Pernah suatu ketika di media seorang mahasiswa diwawancara ketika melakukan demonstrasi dengan pertanyaan, "Apakah anda punya solusi untuk hal ini?", dan dia menjawab, "Biarkan orang-orang di DPR dan pemerintah yang memikirkannya, mereka kan digaji mahal untuk itu". Saya spontan berkata, "Ancen arek longor. Lek gak duwe solusi mbaliko nang kelas ae leee. Sinau sing rajin." (Dasar anak @&%*. Kalau tidak punya solusi belajar saja yang rajin di kelas). Saya tidak anti dengan demonstrasi, tapi perlu digarisbawahi bahwa demonstrasi haruslah solutif, aplikatif, konstruktif, dan kontekstual. Contoh lain adalah diri kita sendiri ketika menonton tayangan olahraga di TV. Kita berperan sebagai supporter sekaligus komentator. Kita mengomentari kesalahan-kesalahan yang terlihat padahal komentar kita tidak bisa mengubah jalannya pertandingan. Kita bahkan tidak bisa lebih baik dari mereka yang kita komentari. Sekarang mari kita lihat contoh orang berisi, mereka banyak sekali di sekitar kita (semoga). Saya bertemu tukang soto, tukang cukur, tukang becak, petani, penjual mainan anak-anak, montir, guru, ibu rumah tangga, dan berbagai macam orang dengan profesinya masing-masing. Mereka adalah profesional di bidangnya. Mereka berdedikasi untuk orang lain, bukan cuma hidup untuk diri sendiri dan keluarganya saja. Orang-orang bersahaja inilah yang membuat saya tersenyum menyaksikan kesederhanaan mereka. Seorang teman pernah berkeluh bahwa sebagian koleganya suka memamerkan kekayaan di jejaring sosial. Saya berkata sederhana saja kepada teman ini, bahwa sesungguhnya mereka yang suka pamer kekayaan itu miskin alias belum berisi. Mereka miskin pengakuan, miskin penghargaan, sehingga berpikir bahwa untuk membuat dirinya dihargai atau dikagumi maka dia perlu memamerkan harta. Jika mereka telah kaya bukan hanya lahir namun juga batin, tentu mereka tidak memamerkan harta lahiriahnya di jejaring sosial.


Untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan mengutip pernyataan dari dua tokoh besar yang pernah ada dalam sejarah. Ribuan tahun yang lalu, seorang raja yang termasyur karena kebijaksanaannya berpesan,
Jangan banyak bicara. Orang yang banyak bicara membuat banyak kesalahan. Karena itu, bersikaplah bijaksana dan kendalikanlah lidahmu.
Amsal 10:19 FAYH


Dan seorang Farisi yang sangat saya kagumi menasihatkan,
Bekerjalah bersama-sama dengan senang hati. Jangan berlagak seperti orang besar. Janganlah mengambil hati orang-orang yang penting, melainkan hendaklah Saudara merasa senang bergaul dengan orang biasa. Janganlah menganggap diri Saudara mengetahui segala-galanya.
Roma 12:16 FAYH

0 comments: