Awal bertemu dengannya aku tak tahu apa yang kurasakan. Antara senang, penasaran, bingung, grogi, dan sedikit cemburu. Cemburu karena dengan segera dia disukai orangtuaku. Namun aku tak mampu menafikan kasih sayang yang tumbuh dari dalam hati.
Dalam ingatan yang samar-samar tentang pertemuan pertama ku lihat wajahnya yang kemerahan, imut, dan teduh. Sesekali dia mengeluarkan suara berisik, tapi itu hanya membuatku terdiam memandangnya.
Usia kami terpaut dua tahun dan kami dibesarkan di lingkungan yang sama. Itulah yang semakin menyuburkan kasih sayang di antara kami. Gadis itu bukan saja telah merebut hati orangtuaku, hatiku pun telah dimilikinya.
Di tahun-tahun pertama kebersamaan kami, pertengkaran sangat sering terjadi. Sebagai yang lebih tua aku tak bersedia mengalah. Bahkan seringkali aku melakukan kekerasan kepadanya. Sebuah kebodohan yang ku sesali beberapa tahun kemudian.
Seiring kedewasaan yang bertambah, egoisme telah sangat luruh di antara kami. Pertengkaran tergantikan dengan kasih sayang yang nyata. Nyata, karena sejak awal kami telah memilikinya namun masih tertutup oleh egoisme.
Aku berjanji akan terus menjaga dia. Jika Tuhan mengizinkan, aku ingin menghantarkannya sampai ke gerbang pernikahan, sampai dia menemukan pria yang akan mempersuntingnya. Pria yang mengasihi Tuhan dan dirinya. Pria yang bertanggungjawab dan setia.
Kini dia telah tumbuh menjadi gadis yang elok dan mempesona. Sebagian orang mengatakan bahwa wajah kami mirip. Tentu saja, karena kami lahir dari rahim yang sama. Kami memiliki bapak yang sama. Kami memiliki gen yang sebagian besar sama. Karena dia adalah adik perempuanku. Gadis pertama yang menawan hatiku sejak kelahirannya di dunia. Orangtua kami memberikan dia nama Neti Ginjasari.
Akulah jalan menuju dia, tidak ada seorang pria pun yang boleh berjuang mendapatkan hatinya kalau tidak melalui aku.