Pages

Monday, March 3, 2014

Kasih Ilahi

Salam jumpa pembaca yang budiman. Sampailah kita pada bagian tersulit yang harus saya tulis mengenai kasih. Saya sebut tersulit karena menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia saja sangat sulit. Kedua, karena saya tidak bisa menyembunyikan pandangan teologis yang saya yakini. Dan yang paling membebani adalah bahwa kasih ini adalah kasih yang paling agung yang sanggup diberikan oleh manusia.

Saya menyebutnya kasih ilahi. Beberapa orang menyebutnya agape atau kasih tanpa syarat. Sampai saat ini saya belum membandingkan prioritas dari kasih-kasih yang kita alami. Namun kini hal ini tidak bisa saya hidari lagi. Ada satu kasih yang menuntut untuk diprioritaskan melebihi kasih-kasih yang lain. Sebenarnya, apakah ada masalah jika kita terlalu besar mengasihi orangtua, anak, sahabat, atau kekasih kita? Sejauh yang saya renungkan, yang menjadi masalah bukanlah bahwa kita mengasihi mereka terlalu besar. Masalah sesungguhnya adalah kita mengasihi mereka lebih besar daripada kasih kita kepada Tuhan.

Seperti kita ketahui bahwa apapun yang kita kasihi berpotensi menjadi tuhan, dan jika tuhan kita bukan Tuhan maka pastilah dia setan. Dia menjadi setan bukan semata-mata karena kejam, tapi karena kita menjadikannya demikian dalam hidup kita. Tuhan itu cemburu. Jika kita mengaku memperhambakan diri pada-Nya maka Dia menuntut kasih kita kepada-Nya berada di posisi teratas. Ada kalanya Ia akan menyingkirkan tuhan-tuhan kecil dalam hidup kita supaya Ia tetap jadi satu-satunya Tuhan yang bertahta atas hati kita. Proses ini yang seringkali membuat kita merasa kesakitan. Namun saat kita mengeraskan hati, maka kita sedang menyingkirkan-Nya dari tahta hati kita. Dan saya pikir itu adalah tindakan yang pasti akan kita sesali. Dari sini kita belajar untuk menundukkan kasih-kasih yang lain di bawah kasih ilahi. Kasih-kasih yang lain boleh tetap tinggal dengan syarat dikendalikan oleh kasih ilahi, atau kalau tidak demikian maka lebih baik dia mati sama sekali.

Tapi agape pasti bohong atau pura-pura jika tidak terwujud dalam bentuk kasih yang lain. Bukti bahwa kita mengasihi Tuhan adalah adanya tindakan kasih terhadap sesama. Orang yang mengasihi Tuhan mustahil membenci sesamanya. Kita belajar mewujudkan kasih kepada yang tidak kelihatan dengan cara mengasihi yang kelihatan. Kita sesungguhnya belajar mempraktikkan cara Tuhan mengasihi kita dengan meniru bagaimana Dia mengasihi kita. Tindakan kasih-Nya saat Dia mengampuni, memaafkan, menerima, merawat, memotivasi, dan sebagainya adalah kekuatan dan modal kita untuk menularkannya kepada sesama. Seperti telah saya sampaikan pada tulisan sebelumnya, bahwa kita hanya dapat memberi apa yang kita miliki, maka kita bisa memberi kasih kepada sesama karena kita telah menerima kasih dari Tuhan.  

Namun ada lagi yang membedakan kasih kepada Tuhan dengan kasih lainnya. Tanda kedewasaan kasih pada manusia adalah kesediaan kita untuk kehilangan. Semakin dewasa kita mengasihi seseorang maka kita semakin sanggup kehilangan, sanggup mandiri, sanggup melepas orang yang kita kasihi, karena kita tahu bahwa kebahagiaan dan keindahan kekasih itu lebih berharga daripada keegoisan kita untuk terus menggenggamnya. Kita akan lebih suka memberi daripada menerima dalam hubungan kita dengan orang-orang yang kita kasihi. Bahkan pada titik tertentu kita hanya ingin memberi tanpa menerima. Namun hal ini berbeda dengan kasih kepada Tuhan. Semakin kita mengasihi-Nya, semakin kita bergantung kepada-Nya, semakin ingin lebih lekat dan tak terpisahkan dengan-Nya. Dalam natur kita yang telah rusak oleh dosa, ketergantungan dan ketidaklayakan kita di hadapan-Nya menumbuhkan pula penghormatan dan penghargaan kepada Tuhan. Penghormatan dan penghargaan kita kepada-Nya membuat kita ingin selalu memberi dan berupaya menyenangkan-Nya dengan seluruh hidup kita, dengan segenap pemberian kita. Namun demikian, kita tidak bisa berkata bahwa kita hanya ingin memberi tanpa menerima dari-Nya, karena itu sama saja kita berkata dengan sombongnya kepada Tuhan, “aku tidak perlu kasih-Mu”.

Akhirnya, kasih ilahilah yang memampukan kita mengasihi sesama dengan tulus. Yang membuat kita sembuh saat keinginan kita akan kasih sesama terkoyak. Ketika kita mempunyai kasih yang mampu memenuhi seluruh hidup kita, maka kasih yang lain tidak lagi menjadi pemuas dahaga kita lagi. Ketika kasih yang kokoh telah menguatkan kita, maka kita tidak lagi rapuh oleh harapan palsu yang ditawarkan kasih-kasih lainnya. Karena kasih inilah yang tidak pernah berdusta, tidak pernah ingkar, dan tidak pernah meninggalkan kita.
 
Apa yang saya sampaikan sekarang mungkin bukan sesuatu hal yang baru bagi pembaca sekalian. Maka itu ijinkanlah saya mengajak anda untuk merenungkan kasih kita kepada-Nya. Benarkah dalam keseharian kita, kasih kita kepada-Nya telah ada di tempat yang seharusnya? Ataukah kita telah terlalu sibuk mengasihi kekasih kita dan hanya menyisakan beberapa menit untuk merenungkan kasih-Nya? Bukankah semestinya hari-hari kita dipenuhi kasih-Nya? Bukankah kasih ilahi yang semestinya menggerakkan kita untuk mengasihi sesama?
 
Semoga tulisan ini bermanfaat.

3 comments:

Anonymous said...

Halo Danu,
selaamat yaaah, serinya sudah selesai :)
"Kasih Ilahi" memang paling pamungkas yaaa.. Kasih yang memberi sekaligus mengorbankan segalanya untuk Pencipta. Hummm, renungan yang dalam sekali. Terima kasih untuk pembahasan buku C. S. Lewis nya.
Ditunggu tulisan selanjutnya :D

Anonymous said...

Halo Danu,
selaamat yaaah, serinya sudah selesai :)
"Kasih Ilahi" memang paling pamungkas yaaa.. Kasih yang memberi sekaligus mengorbankan segalanya untuk Pencipta. Hummm, renungan yang dalam sekali. Terima kasih untuk pembahasan buku C. S. Lewis nya.
Ditunggu tulisan selanjutnya :D

Danu Retakson said...

Hehehe, tulisan berikutnya sedang nunggu timing :)