Cerita di balik fakta, seringkali hanya opini belaka. Para perekayasa cerita pandai merangkai kata yang menarik untuk dibaca. Fakta yang tersalut cerita ini kemudian berhembus sebagai berita. Sehingga, bukan hiburan yang timbul, tapi kekacauan yang mengepul.
Di sinilah kejelian kita diuji untuk mengenali dan memilah bagian mana yang fakta dan mana yang opini. Kita berbekal nalar yang melekat pada setiap makhluk yang tergolong manusia. Masalahnya, kadangkala nalar ini jarang kita gunakan karena malas. Kemalasan telah menumpulkan nalar, sehingga sebagian orang hanya ingin gampangnya saja. Dalam berbagai hal, kita jumpai seruan kemalasan ini. "Intinya apa? Cara mudahnya bagaimana?" adalah pertanyaan yang menyiratkan keengganan kita untuk bernalar.
Jika sesuatu yang disebut berita tenyata hanya berisi opini, layaklah kita menikmatinya sebagai cerita yang menghibur. Hiburan belaka, bukan berita. Nikmatilah hiburan sebagai hiburan, tanpa perlu tersulut amarah. Jika ada yang menyebarkannya sebagai berita, kita cukup tersenyum sambil memberikan penjelasan seperlunya.
Menafsirkan fakta itu sah-sah saja. Namun, kita seringkali sulit menyadari batasan penafsiran seperti apa yang dikatakan terlalu jauh. Penafsiran yang terlalu jauh bisa menjurus ke fitnah yang keji. Percayakah anda bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan? Ya, saya percaya. Mari kita berpikir, menyebarkan fitnah tak ubahnya membunuh karakter seseorang di depan orang lain. Seseorang yang gambaran karakternya telah rusak secara alamiah akan ditolak oleh penerima fitnah tersebut. Karakternya telah dibunuh, telah tumbang, telah mati, bahkan saat sebenarnya dia masih hidup. Menyakitkan bukan?
Fitnah tidak jauh dari kebencian. Kita mendapati hampir seluruh cerita yang berisi fitnah dapat membangkitkan kebencian. Taukah para pembaca yang budiman bahwa pembenci tak ada bedanya dengan pembunuh? Ketika kita membenci seseorang, kita membunuh karakternya dalam diri kita. Kita akan mencurigai setiap tindakan baik dan menyangka ada maksud buruk di balik tindakan baik orang yang kita benci. Suara kebencian berkata, "Tidak ada yang baik keluar dari perkataan dan tindakan orang itu. Jika ada yang seolah baik, pasti ada maunya, itu palsu!". Dengan menutup mata terhadap semua kebaikan orang yang kita benci, kita telah membunuh kebaikan orang itu dalam diri kita. Bukankah semestinya yang kita bunuh adalah kecurigaan dan ketidakpercayaan kita? Mari merenung dan mengakui bahwa kita juga bukan orang yang tidak punya kesalahan.
Bayangkan betapa indahnya dunia jika kita menjaga diri dari kecerobohan menyebarkan cerita. Saya pernah menulis bahwa kadang apa yang kita sangka benar ternyata tidak benar menurut orang lain. Hal ini bukan berarti kebenaran itu relatif. Tetapi kebenaran itu mutlak dari sudut pandang yang benar. Jika kita memandang kebenaran dari sudut pandang yang salah maka kita akan mendapatkan kesimpulan yang salah.
Akhir kata, marilah melatih nalar kita. Jadilah penyayang, bukan pembenci. Mari membangun kesalingpahaman, bukan kesalahpahaman.
0 comments:
Post a Comment