Pages

Tuesday, August 12, 2014

Menikmati Jerih Lelah

Pkh 3:13
Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah.

Tidak sedikit orang bergelimang harta namun tak sanggup menikmatinya. Hutang yg berlinang, sakit yg membelit, membuat hasil jerih lelah seolah meleleh begitu saja.

Mari bersyukur bahwa Tuhan memberi karunia untuk menikmati hasil usaha kita. Jangan biarkan diri kita menjadi pengejar materi, tapi marilah kita menjadi pengejar kekudusan.

Mari berhenti membandingkan pencapaian diri dengan orang lain, tapi bandingkanlah diri kita hari ini dengan kemarin, itulah yang disebut progress.

Kehidupan ini kadang seperti sungai. Di mana kita bersumber, dari situlah kita bertolak. Ke mana kita bermuara, ke sanalah kita berlabuh. Namun, kehidupan jasmani saja lah yang mengikuti pola ini. Sementara, roh manusia berasal dan bermuara kepada Penciptanya.

Mari kembali ke jalan yang seharusnya kita tempuh. Pengejaran sia-sia akan membawa kita kepada hasil yang sia-sia. Larut dalam kemelut akan membuat kita semakin tersudut dan keluar dengan tubuh penuh parut.

Motivasi yang benar dapat mengarahkan kita ke kehidupan yang benar. Kerap kali kita mendengar orang berkata, "Aku bekerja keras untuk keluarga!". Sekilas terasa baik. Namun, di balik itu terkandung bahaya besar. Bagaimana jika keluarga itu diambil dari padanya? Bukankah motivasi bekerjanya juga akan terambil? Oleh karena itu, mari kita bekerja bukan untuk manusia, karena manusia fana adanya. Tapi bekerjalah untuk Tuhan yang kekal.

Tetapi bukankah Tuhan yang kekal itu adalah pemilik seluruh alam semesta beserta kekayaannya? Lantas apa pemberian yang bisa membuat-Nya bahagia? Bukan pemberian, namun hati yang memberi, itulah yang menyenangkan-Nya. Saat kita mengerjakan segala sesuatu dengan motivasi untuk menyenangkan Tuhan, di sanalah kita memberi persembahan yang hidup.

Berbahagialah kita yang menyadari hal yang tampak sepele ini. Namun, hal-hal yang sepele seringkali justru menjadi penentu. Lebih berbahagia lagi orang yang menghidupinya. Karena pengetahuan hanya memuaskan intelektualitas kita, namun ketaatan memuaskan Tuhan.

Semoga perenungan ini bermanfaat.

Friday, August 1, 2014

Cerita di Balik Fakta

Cerita di balik fakta, seringkali hanya opini belaka. Para perekayasa cerita pandai merangkai kata yang menarik untuk dibaca. Fakta yang tersalut cerita ini kemudian berhembus sebagai berita. Sehingga, bukan hiburan yang timbul, tapi kekacauan yang mengepul.

Di sinilah kejelian kita diuji untuk mengenali dan memilah bagian mana yang fakta dan mana yang opini. Kita berbekal nalar yang melekat pada setiap makhluk yang tergolong manusia. Masalahnya, kadangkala nalar ini jarang kita gunakan karena malas. Kemalasan telah menumpulkan nalar, sehingga sebagian orang hanya ingin gampangnya saja. Dalam berbagai hal, kita jumpai seruan kemalasan ini. "Intinya apa? Cara mudahnya bagaimana?" adalah pertanyaan yang menyiratkan keengganan kita untuk bernalar.

Jika sesuatu yang disebut berita tenyata hanya berisi opini, layaklah kita menikmatinya sebagai cerita yang menghibur. Hiburan belaka, bukan berita. Nikmatilah hiburan sebagai hiburan, tanpa perlu tersulut amarah. Jika ada yang menyebarkannya sebagai berita, kita cukup tersenyum sambil memberikan penjelasan seperlunya.

Menafsirkan fakta itu sah-sah saja. Namun, kita seringkali sulit menyadari batasan penafsiran seperti apa yang dikatakan terlalu jauh. Penafsiran yang terlalu jauh bisa menjurus ke fitnah yang keji. Percayakah anda bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan? Ya, saya percaya. Mari kita berpikir, menyebarkan fitnah tak ubahnya membunuh karakter seseorang di depan orang lain. Seseorang yang gambaran karakternya telah rusak secara alamiah akan ditolak oleh penerima fitnah tersebut. Karakternya telah dibunuh, telah tumbang, telah mati, bahkan saat sebenarnya dia masih hidup. Menyakitkan bukan?

Fitnah tidak jauh dari kebencian. Kita mendapati hampir seluruh cerita yang berisi fitnah dapat membangkitkan kebencian. Taukah para pembaca yang budiman bahwa pembenci tak ada bedanya dengan pembunuh? Ketika kita membenci seseorang, kita membunuh karakternya dalam diri kita. Kita akan mencurigai setiap tindakan baik dan menyangka ada maksud buruk di balik tindakan baik orang yang kita benci. Suara kebencian berkata, "Tidak ada yang baik keluar dari perkataan dan tindakan orang itu. Jika ada yang seolah baik, pasti ada maunya, itu palsu!". Dengan menutup mata terhadap semua kebaikan orang yang kita benci, kita telah membunuh kebaikan orang itu dalam diri kita. Bukankah semestinya yang kita bunuh adalah kecurigaan dan ketidakpercayaan kita? Mari merenung dan mengakui bahwa kita juga bukan orang yang tidak punya kesalahan.

Bayangkan betapa indahnya dunia jika kita menjaga diri dari kecerobohan menyebarkan cerita. Saya pernah menulis bahwa kadang apa yang kita sangka benar ternyata tidak benar menurut orang lain. Hal ini bukan berarti kebenaran itu relatif. Tetapi kebenaran itu mutlak dari sudut pandang yang benar. Jika kita memandang kebenaran dari sudut pandang yang salah maka kita akan mendapatkan kesimpulan yang salah.

Akhir kata, marilah melatih nalar kita. Jadilah penyayang, bukan pembenci. Mari membangun kesalingpahaman, bukan kesalahpahaman.