Pages

Monday, January 13, 2014

Menggauli Buku

Beberapa hari yang lalu saya bertemu di dunia maya dengan kawan semasa SMA. Usai ngobrol singkat kami bertukar nomer ponsel. Sejenak saya teringat masa-masa sekolah. Masa penuh perjuangan, dimana saya harus selalu masuk ke sekolah negeri mengingat orang tua hanya sanggup membiayai sekolah jika saya masuk ke sekolah negeri. Ketika kenangan-kenangan yang muncul itu, saya terusik oleh sebuah fenomena yang sangat umum kita temui.

Di sekolah, kita punya buku pegangan yang sama. Tapi mengapa ada yang sangat menguasai materi, ada yang biasa, dan ada yang kurang dalam memahami materi? Saya memaklumi bahwa hampir tidak mungkin seisi kelas mendapat nilai yang sempurna seluruhnya. Setiap pribadi punya bidang kejeniusan masing-masing. Namun saya percaya jika ada kemauan pasti ada jalan. Jika mau berusaha, semestinya kita tidak akan berakhir dengan tangan hampa. Berdasarkan pengamatan saya selama bersekolah, kecerdasan memang berpengaruh, tapi itu hanya pada seberapa cepat daya tangkap seseorang. Orang dengan tingkat kecerdasan tinggi dalam bidang tertentu akan lebih mudah memahami materi pelajaran bidang tersebut dibandingkan dengan mereka yang punya kecerdasan dibawahnya. Bagi yang punya kecerdasan logis-matematis yang sangat tinggi bisa memahami penjelasan guru Matematika dalam sekali sesi, sementara yang lain mungkin butuh perulangan beberapa kali untuk memahaminya. Demikian pula dengan kecerdasan-kecerdasan lainnya (multiple intelegence). Bimbingan belajar di luar sekolah juga bukan faktor utama, karena teman SMA yang rangking satu paralel pun tidak ikut bimbingan belajar. Padahal menurut saya, dia juga bukan murid paling cerdas yang ada di sekolah.

Bagi saya, alasan terkuat mengapa ketimpangan itu terjadi adalah perbedaan dalam “menggauli buku”. Mari saya jelaskan mengapa saya gunakan istilah menggauli buku. Menggauli, bukan cuma dipegang (karena memang buku pegangan minimal fungsinya untuk dipegang), tapi juga dibaca, dikritisi, digali, dirasakan, dikepoin, dinikmati tiap lembarnya seperti menikmati makanan kesukaan, dikejar untuk mencari solusi permasalahan yang tertulis didalamnya. Untuk bisa melakukannya dibutuhkan kecintaan. Mari mengingat pesan guru selama kita sekolah yang berkata demikian: cintailah semua mata pelajaran sekalipun gurunya tidak kau sukai. Pesan ini disampaikan oleh sebagian besar guru selama kita sekolah. Beliau-beliau sadar bahwa kadang metode yang dipakai tidak disukai oleh sebagian murid, tapi jiwa pengajar sejati tak menginginkan muridnya membenci pelajaran yang diajarkan. Lalu mengapa buku? Bukankah ada berbagai macam sumber materi pembelajaran? Ya, tentu saat ini ada banyak media pembelajaran selain dari buku. Saya adalah orang yang lebih auditori ketimbang visual. Lebih suka mendengar daripada membaca. Tapi fakta-fakta berikut membuat saya harus mencintai membaca: Pertama, media dengan sumber (resource) yang terlengkap saat ini adalah buku, dibandingkan dengan audio atau video. Jika saya ngotot hanya mau belajar dari mendengar maka saya menutup pintu bagi sekian banyak informasi yang belum tersedia dalam bentuk audio. Kedua, media buku bisa dibaca dimanapun, kapanpun, hanya dengan satu syarat, yaitu penerangan (sinar) yang cukup. Sementara untuk media audio dan video akan butuh catu daya (sumber listrik), entah itu baterai atau listrik AC dari PLN, untuk menyalakan perangkat pemutar audio/video. Ketiga, buku memiliki nilai ekomonis yang lebih baik bagi konsumen karena umumnya lebih murah daripada media audio/video yang berbayar. Keempat, secara ketahanan, umumnya buku lebih awet (umurnya lebih panjang) dibanding media audio/video. Buku hanya rusak jika disobek atau dibakar, sementara media penyimpanan audio-video lebih mudah terkena jamur (CD/DVD), rentan terkena virus atau terformat (flashdisk dan harddisk).

Saya teringat suatu peristiwa saat kuliah semester 5, kalau tidak salah Pengolahan Sinyal Digital. Menjelang UAS saya dan beberapa teman memutuskan untuk belajar bersama. Berbekal soal-soal UAS semester sebelumnya kami pun berlatih. Sungguh mencengangkan, bahwa tidak satupun soal-soal tersebut dapat kami selesaikan. Harap diketahui bahwa saya belajar dengan mahasiswa-mahasiswa yang cerdas dan fantastis. Tapi begitulah kenyataannya, kami tidak bisa menyelesaikan satupun soal. Singkat cerita kami menyerah. Setelah berunding kami memutuskan untuk minta petunjuk kepada dosen, namanya Pak Suwadi. Di ruang dosen kami bilang, “Permisi pak, kami mau tanya tentang soal semester lalu yang kurang paham. Nomer 3 ini gimana ya pak?”. Kemudian dosen menerangkan solusinya. Selanjutnya kami bertanya tentang nomer 1, dosen pun menjawab. Lalu kami bertanya tentang nomer 4, dan dosen mulai curiga, “Jangan-jangan ini kalian nggak ada yang bisa jawab”. Kami cuma meringis, “Hehehehe”. Singkat cerita akhirnya bapak dosen menjawab semua soal (5 buah soal), setelah itu memberi wejangan: “Anak jaman sekarang ini nggak ada fighting spirit nya. Kan tiap pertemuan saya kasih tugas beberapa soal dari buku untuk dikerjakan sebagai latihan di rumah. Walaupun itu tidak untuk dikumpulkan, bukan berarti tidak untuk dikerjakan.” beliau melanjutkan, “Kalian tau gak, Pak Gam (Prof. Gamantyo Hendrantoro - red) itu dulu semasa kuliah bukan cuma ngerjakan soal yang disuruh sama dosen, tapi semua soal di buku dia kerjakan. Bahkan dia semasa masih mahasiswa berani bilang kalau Prof. Proakis (penulis buku terkenal di jagad persinyalan) itu salah. Ada yang salah di bukunya Proakis dan dia berani membuktikan”. Glek, kami hanya menelan ludah.

Kami sadar bahwa sebuah kesalahan besar kami meremehkan tugas yang memang oleh dosen tidak pernah diminta untuk dikumpulkan karena memang tidak dinilai. Tapi itu menjerumuskan kami pada ketidaktahuan yang fatal. Jangankan latihan soal, baca materinya saja sudah aras-arasen alias malas. Saat terhimpit, kepepet, baru kami mau buka buku, itupun juga masih kesulitan. Bukankah dalam kehidupan ini kita juga sering melakukan hal yang sama. Kita meremehkan hal-hal yang kita anggap bisa kita pelajari nanti. Padahal sesungguhnya ujian hidup tidak pernah bisa kita prediksi datangnya. Itu sebabnya kalimat, “nanti sajalah belajar kalau sudah dekat ujian” tidak bisa kita kenakan ke dalam ujian kehidupan. The power of kepepet bisa bekerja baik dengan syarat kita setidaknya pernah mengatahui ilmu yang berguna untuk melalui persoalan tersebut. Jika kita tidak tahu ilmunya, the power of kepepet hanya akan memunculkan spekulasi yang mirip melempar dadu untuk menjawab soal pilihan ganda. Itu tidak lebih dari perjudian yang bodoh. Maka sebelum terlambat, mari belajar. Mari menggauli buku.

Buku pegangan sebaik apapun, jika tidak pernah digauli, tidak akan mendatangkan mafaat.

6 comments:

Unknown said...

Nice article...
'Buku pegangan' jgn diartikan scr harfiah dunk, jd kurang maknanya. hehe..
Mendapatkn informasi dari mendengar, biasany kurang lengkap dibandingkan membaca buku. Informasi yg didapatkan dr mendengar, bisa jd kurang lengkap atau sama sekali berbeda, krn kita mengetahui dr intepretasi kedua, bahkan ketiga dan seterusnya.
Sy sepakat bahwa kita harus rajin 'menggauli buku', supaya kita mempunyai pendirian dan dasar yg kuat sblm terlibat dalam suatu diskusi.
Tetap semangat 'menggauli buku'!

Danu Retakson said...

Hahaha. Namanya juga usaha teh. Usaha melucu yang garing.

Makasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak.

Anonymous said...

Thanks ms infony, bermanfaat bgt hihi. Srg2 deh ngpost beginian^^
Jbu

Danu Retakson said...

Sama-sama. Siap! JBU 2

Unknown said...

Danuuuuu :) hahahahahha 'menggauli buku' versus 'the power of kepepet' - mak jleb buangeeett... :D lanjutkaaaann!!!

Danu Retakson said...

Valeeen...giliranmu tak tunggu :D