Pages

Monday, January 6, 2014

Mari (JANGAN) Cari Pembenaran

Beberapa bulan lalu, setengah jam sebelum selesai kerja, datang sebuah SMS: “Bro, sorry aku rada telat. Masih ada urusan”. Ini bukan kali pertama SMS serupa saya terima. Sudah sekian kali Mr X (sebut saja begitu), rekan kerja saya, mengirim SMS dengan nada serupa. Sebagai informasi, saya bekerja dengan sistem shift. Artinya, saya tidak bisa meninggalkan kantor jika rekan yang bertugas shift berikutnya belum datang. Setelah 30 menit lewat dari jam pergantian shift, rekan saya datang. Saat itulah saya bisa meninggalkan kantor.

Beberapa hari kemudian saya bertugas dalam shift yang sama dengan Mr X. Satu jam sebelum shift berakhir, dia berkata, “Bro, kamu pulang dulu aja. Gak pa pa kok”. Hal itu tentu mengejutkan saya. Dengan enteng saya menjawab, “Santai aja bro. Aku pulang tepat waktu aja”. Saya memutuskan untuk pulang sesuai jadwal.

Dari peristiwa tersebut saya menduga, bahwa untuk menebus rasa bersalahnya karena membuat saya telat pulang beberapa hari sebelumnya, maka Mr X “mengijinkan” saya untuk pulang lebih awal. Namun saya memegang suatu prinsip bahwa: Dalam pekerjaan ini, saya bertanggungjawab kepada perusahaan. Kesepakatan kerja saya adalah sekian jam kepada perusahaan. Jadi saya sepatutnya menggenapi jam kerja yang telah disepakati. Saya berkata (dalam hati alias mbathin), “Kalau kamu merasa berhutang, bayarlah ke perusahaan. Jangan seret saya di permainan permisif yang kedepannya bisa membangkitkan kebiasaan nelat”. Mungkin saya terlalu berpikiran buruk. Namun sangat sulit untuk tidak menghubungkan peristiwa telatnya Mr X dengan “ijinnya” supaya saya pulang lebih awal.

Kadang, bahkan sering, saat kita membuat kesalahan dan menyadarinya, kita menyesal. Hal itu tentu saja baik. Namun, kemudian kita menentukan dengan cara kita sendiri untuk menyelesaikannya (mungkin lebih tepat menutupinya) dengan mengalihkan kepada hal-hal lain yang sebenarnya bukan solusi yang tepat. Pada titik yang lebih parah, kita kemudian menyeret atau mendorong orang lain untuk melakukan kesalahan yang sama, guna merasa tidak sendirian. Cari komplotan, cari bolo, cari orang yang sama-sama bersalah untuk mengurangi rasa bersalah sebenarnya tidak mengurangi kesalahan. Justru kita makin bersalah karena membuat orang lain ikut bersalah. Namun kita berdalih demikian: Setidaknya, jika rasa bersalah itu tidak berkurang, kita tidak merasa sendiri. Kebersamaan dalam kesalahan (dosa) membuat kita sedikit merasa tenang dan aman.

Ketika kita tengok jauh ke belakang, bukankah itu juga terjadi saat nenek moyang kita jatuh dalam dosa? Hawa memetik buah, memakannya, memberikannya pada suaminya sehingga suaminya pun memakannya. Jadilah mereka berdosa bersama-sama. Berkomplot dalam dosa. Bukankah dalam kehidupan kita sering mendengar orang yang suka mengancam, “Aku tidak akan mati sendiri, aku akan menyeret sebanyak mungkin orang”. Memang begitulah sifat alami dosa: Cari kawan dan cari pembenaran.

Hal pertama tentang cari komplotan sudah kita telanjangi, sekarang mari kita lihat peristiwa berikutnya. Jika melangkah sedikit maju, kita temui kisah bangsa Israel di padang gurun yang bersungut-sungut pada Tuhan. Suatu dosa yang sangat besar dimata Tuhan sehingga Tuhan murka dan bersumpah bahwa angkatan mereka (orang-orang dewasa) tidak akan masuk tanah perjanjian. Lihatlah apa usaha mereka untuk melunakkan hati Tuhan, mereka maju berperang dengan usaha sendiri. Suatu upaya yang tampak cukup baik, tapi sangat bodoh. Karena mereka maju berperang tanpa penyertaan Tuhan, maka kalahlah mereka. Dengan kata lain umat itu berkata, “Ok deh Tuhan, kami salah. Sekarang kami akan berbuat sesuatu untuk menyenangkan-Mu dengan cara yang kami anggap baik”. Ternyata kemudian usaha mereka sia-sia, bahkan dapat dikatakan keadaan mereka semakin buruk. Berikutnya, masih dari kisah bersungut-sungutnya bangsa Israel yang berteriak kehausan. Musa, dalam desakan orang Israel, bertindak diluar ketetapan Tuhan. Dia tidak bertindak dalam “ketepatan” alias tidak bertindak tepat seperti yang Tuhan perintahkan. Tuhan memandangnya sebagai tindakan tidak percaya kepada-Nya dan tidak menghormati kekudusan-Nya. Akibatnya, Musa harus menanggung konsekuensi yakni tidak bisa memasuki tanah perjanjian.

Dari perenungan ini mari kita tarik pembelajaran. Pertama, saat kita melakukan kesalahan (dosa), bertanggungjawablah atas kesalahan kita sendiri. Jangan cari pembenaran atau rasa aman dengan menyeret orang lain dalam kesalahan, atau mencari pelaku-pelaku kesalahan yang sama agar kita bisa bersekutu dengan mereka. Dari pelajaran diatas kita tahu bahwa cari pembenaran justru menjauhkan kita dari jalan yang benar. Kedua, jangan gunakan cara kita sendiri untuk menyogok (menyuap) Tuhan agar murka-Nya surut atas kita. Bertobat adalah satu-satunya jalan pengampunan. Menyogok Tuhan, dengan perbuatan baik, pelayanan yang semakin aktif, dan kegiatan-kegiatan baik lainnya tidak akan membantu. Bahkan kegiatan rohani pun tidak akan meluputkan kita dari akibat kesalahan selama kita tidak bertobat. Bertobat bukan hanya ucapan bibir dan perasaan menyesal. Bertobat melibatkan penyerahan diri sepenuhnya dan kesediaan untuk taat pada tuntunan Tuhan. Itu artinya buah pertobatan itu dapat terlihat nyata. Nyata dari hati yang diperbaharui dan muncul dari karakter yang disempurnakan.

Pertobatan sampai titik ini bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal yang mustahil. Hanya oleh Roh-Nya lah kita sanggup melakukannya. Roh-Nya yang tinggal dalam kitalah yang memampukan kita. Ialah yang memberi kita kekuatan untuk sanggup taat akan Firman. Kita hanya dapat berjalan dalam ketepatan-Nya jika kita belajar dan menaati ketetapan-Nya. Roh Kuduslah yang mengajar kita tentang ketetapan-Nya. Tanpa Roh-Nya berkarya dalam diri kita, semua upaya kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik akan menciptakan rasa frustasi. Tanpa Roh Kudus, upaya pertobatan kita bagaikan berdandan di depan kaca tanpa penerangan apapun. Kita tidak mampu, tapi dimampukan. Kita tidak layak, tapi dilayakkan. Kita rusak, cacat, dan penuh cela, tapi dibenarkan, dipulihkan, dan disempurnakan.

1 comments:

Unknown said...

Voila!tulisan pertama di awal thn 2014.smoga terus jadi inspirasi utk semua pembaca.
Masihkah kita cari teman utk rame2 memaklumi suatu kesalahan?#think