Salam jumpa para pembaca yang budiman. Tulisan ini
adalah awal dari seri empat macam kasih yang akan saya bahas selama bulan
Februari. Pembahasan saya akan banyak mengambil pemikiran dari C.S. Lewis.
Boleh dikatakan pembahasan saya adalah intisari dari buku Lewis yang berjudul
The Four Loves. Buku ini pernah dipinjam oleh tiga orang, dan kembali ke tangan
saya sebelum mereka selesai membaca. Menurut mereka isinya berat. Oleh karena
itu saya ingin menyajikan versi ringannya.
Saya akan mulai membahas satu jenis kasih yang
paling sederhana dan paling luas. Orang Yunani menyebutnya storge. Saya
menyebutknya Kasih Sayang, khususnya kasih sayang orang tua kepada anak-anak
mereka, dan kasih sayang anak-anak kepada orang tua. Sebagai gambaran, kasih
ini nampak dalam seorang ibu yang merawat bayinya. Bukan hanya pada manusia,
kasih ini pun dapat kita lihat pada binatang. Anjing yang mengasuh anak-anak
mereka melalui gonggongan, jilatan, dan dengkuran adalah contohnya.
Namun sesungguhnya Kasih Sayang melampaui hubungan
orang tua dan anak. Kasih Sayang memberi rasa nyaman, kepuasan dalam
kebersamaan, dan dapat ditujukan kepada siapa saja. Kasih semacam ini tidak
membeda-bedakan. Hampir semua orang dapat menjadi sasaran dari Kasih Sayang;
orang yang jelek, bodoh, bahkan menjengkelkan. Tidak perlu ada kecocokan antara
orang-orang yang disatukan oleh Kasih Sayang. Kasih ini mengabaikan umur, jenis
kelamin, kelas sosial, pendidikan, bahkan spesies. Kita bisa melihatnya pada
manusia dan anjing, bahkan antara kucing dan anjing.
Ada sesuatu yang unik tentang Kasih Sayang.
Kemunculan awalnya jarang kita sadari. Kita sering dapat mengingat momen jatuh
cinta atau memulai persahabatan, namun tidak demikian dengan Kasih Sayang. Ia
muncul seiring berjalannya waktu dalam kebersamaan. Sebagai contoh; anjing akan
menyalak pada orang yang baru ditemuinya, namun mengibaskan ekor pada tuan atau
kenalan lamanya. Anak kecil kadang takut pada orang yang baru ditemui, tapi
merasa nyaman dengan tetangga yang bahkan jarang saling menyapa. Kasih Sayang
juga tipe kasih yang hampir tidak perlu pengakuan. Anda tidak dituntut
mengatakan “i love you” untuk menyatakan Kasih Sayang, sangat beda dengan jatuh
cinta (eros) dimana hampir pasti pasangan mengharapkan dan cenderung menuntut
ungkapan “i love you”.
Kasih Sayang sungguh tampak rendah hati dan
sederhana. Ia akan indah tersimpan di hati, sama seperti perabot rumah tangga
tersimpan di dalam rumah. Mengumbarnya kadang justru membuatnya tampak seperti
mengeluarkan perabot yang seharusnya ada di dalam rumah, tampak aneh bukan?
Karena kita sedang membicarakan Kasih Sayang
terpisah dari kasih-kasih yang lain, maka dari deskripsi diatas dapat kita
lihat bahwa Kasih Sayang adalah jenis kasih paling sederhana. Keberadaannya
ternyata kita lihat juga pada kasih-kasih yang lain. Ia adalah bahan dasar yang
membaur dengan kasih-kasih lainnya. Mari kita membayangkan jatuh cinta (kasih
eros) tanpa Kasih Sayang, atau persahabatan tanpa Kasih Sayang. Saya tak
sanggup membayangkan eros dan persahabatan tanpa Kasih Sayang. Karena
keberadaannya yang sangat luas, Kasih Sayang mempunyai sifat memperluas
wawasan. Saya punya banyak teman dengan latar belakang dan kesukaan yang
berbeda-beda. Kasih Sayang pada waktu tertentu membuat kita akhirnya memiliki
kesukaan yang sama dengan orang-orang yang kita kasihi.
Kasih ini juga tulus. Tidak menuntut perubahan
orang yang kita kasihi. Bahkan kita cenderung tidak menginginkannya berubah.
Namun justru disinilah letak bahayanya Kasih Sayang. Ketika berdiri dengan
sangat kokoh justru ia berpotensi melukai orang yang terkasih. Pernahkah anda
menimang bayi yang lucu dan berharap ia akan terus lucu dengan ukuran tubuh dan
kondisi seperti itu? Atau kekasih yang berkata kepada pasangannya, “jangan
pernah berubah”. Sepertinya pernyataan itu baik, tapi sebetulnya bodoh.
Kehidupan itu dinamis, demikian pula kasih, semestinya juga dinamis. Kita tidak
bisa membuat orang-orang yang kita kasihi berada pada kondisi “tetap begitu”.
Salah satu penyimpangan Kasih Sayang lainnya saya
contohkan sebagai berikut. Bu Ina adalah sosok ibu yang baik, mengabdi bagi
keluarga, mengasihi suami dan anak-anaknya. Tiap hari ia bangun pagi sekali
untuk menyiapkan sarapan, ia mencuci, menyapu, menyeterika, dan mengerjakan
semua pekerjaan rumah tangga seorang diri tanpa pernah mengeluh. Kasih Sayang
dan dedikasinya pada keluarga tidak diragukan lagi. Hal ini berlangsung hingga
anak-anaknya dewasa, sampai suatu hari dia mengalami kecelakaan dan meninggal.
Keluarga dan masyarakat tidak meragukan kebaikannya. Namun sepeninggalannya,
keluarga ini ada dalam kondisi tidak bisa melakukan satu pun pekerjaan rumah
tangga. Bu Ina tidak pernah mendelegasikan tugas kepada siapapun, sehingga ia
meninggalkan keluarganya sebagai “bayi-bayi” dalam urusan pekerjaan rumah
tangga.
Sesungguhnya kadang kita menciptakan kendali atas
orang-orang yang kita kasihi dengan cara membuat mereka bergantung pada kita. Walau
mungkin itu bukan motivasi kita, tapi dampaknya sungguh menghancurkan. Mungkin
kita perlu mengakui bahwa kita takut, bahkan benci jika orang yang kita kasihi
tidak lagi bergantung lagi pada kita. Kita merasa tidak diperlukan sehingga
merasa cemburu pada hal-hal baru yang membuat mereka berubah dan mandiri. Inilah
kengerian saat Kasih Sayang menempatkan dirinya begitu tinggi dalam diri kita.
Jika Kasih Sayang dibiarkan memerintah kehidupan
manusia secara mutlak, benih-benih kebencian itu akan muncul. Kasih, jika
dituhankan, akan menjadi setan.
Posting sebelumnya dapat dibaca di sini
Ingin membaca tulisan saya tentang Valentine's Day? lihat di sini
3 comments:
O.O -speechless- kalimat penutupnya sangat mengena tapi susah dipahami.. kalo masi gak ngerti nnt aku kabari lagi ya Danu :) scr positif, lanjutkan :)
Waw, keren sekali tulisanmu. Kasih sayang berlaku dgn sangat luas,bahkan bs menimbulkan efek yg negatif apabila dikultuskan. Sy tunggu artikel kerenmu selanjutnya!
hehehe, itu cuma pembahasan ulang pemikiran orang lain dalam bahasa yang lebih sederhana.
Post a Comment