Baik itu relatif dalam kacamata obyektif, tapi absolut dalam kacamata subyektif. Kita mungkin berkata hujan itu tidak baik ketika berencana bermain di luar ruangan. Sebaliknya akan berkata itu baik saat sedang menghadapi kebakaran.
Seorang anak berbuat kesalahan, mengakuinya kepada sang ayah, berharap ayahnya serta merta membebaskannya dari konsekuensi yang harus ditanggung. Ayahnya tentu saja memaafkan, tapi konsekuensi tidak bisa dihindarkan, disiplin harus ditegakkan. Bagi si anak mungkin tindakan disiplin itu dirasa tidak baik, tapi dalam pandangan sang ayah itulah kebaikan. Diperlukan beberapa tahun bagi si anak untuk menyadari maksud kebaikan yang terwujud dalam pendisiplinan ayahnya. Bahkan mungkin dia baru bisa memahaminya saat telah menjadi ayah.
Hubungan serupa juga terlihat pada atlet dengan pelatih, murid dengan guru, dan makhluk dengan penciptanya. Kita mengalami didikan, ganjaran, larangan, semata-mata untuk kebaikan. Masalahnya, kita belum bisa melihat kebaikan itu pada saat mengalaminya. Lalu kita bereaksi marah, protes, memberontak, dan pergi. Setelah lama mengembara dan menjadi bijaksana kita teringat akan peristiwa-peristiwa masa lalu yang dulu kita anggap sebagai kejahatan, kemalangan, keburukan, ternyata itulah yang membuat kita menjadi bijaksana. Kita mulai sadar dan berterimakasih kepada para pendidik terdahulu.
Namun saat kita beranjak kepada Tuhan, kebaikan itu menjadi lebih sulit untuk diukur. Definisi kebaikan menurut kita sangat jauh jika dibandingkan dengan Tuhan. Kita mungkin berangan atau berkhayal bahwa Tuhan seharusnya memenuhi kriteria kebaikan yang kita tetapkan. Tuhan yang baik itu seharusnya begini dan begitu. Padahal dengan demikian kita justru menciptakan tuhan khayalan yang sesuai kemauan kita, yang dapat diatur sesuai standar kita. Dan tuhan yang dapat diatur oleh manusia pastilah tidak lebih hebat dari manusia. Dengan kata lain ia pasti cuma manusia atau sesuatu yang lebih rendah dari itu. Secara tidak langsung, kita mendaulat diri lebih besar daripada tuhan. Inilah pemberhalaan yang bodoh.
Padahal Tuhan yang sejati seringkali bertindak lebih ekstrem dari orangtua, guru, dan pelatih kita. Kita lebih sulit memahami cara-Nya menunjukkan kebaikan. Kebangkrutan, penyakit, bencana, bahkan kematian yang menurut kita tidak adil dapat dipakai untuk menunjukkan maksud baik-Nya. Hanya Dialah satu-satunya yang bisa menggunakan instrumen-instrumen tersebut untuk maksud kebaikan. Kebaikan yang saat ini belum mampu dijangkau oleh pemikiran kita. Bahkan sampai berakhirnya riwayat bumi pun mungkin kita tak akan sanggup.
Definisi kita tentang kebaikan sungguh rapuh, baik jika diterapkan kepada sesama manusia, makhluk lain, ataupun alam semesta, terlebih Tuhan. Keberadaan kejahatan memerlukan lebih dari sekedar pengertian bahwa semuanya akan berujung pada kebaikan. Keberadaan kejahatan adalah pertanda bahwa kita harus semakin bertindak baik. Kejahatan tidak dapat dikalahkan dengan kejahatan, tapi dia dapat dilenyapkan oleh kebaikan. Kita tidak dapat memadamkan api dengan menggunakan api, kita perlu air untuk memadamkannya.
2 comments:
Setuju Danu :) terlalu kompleks dan terlalu rumit untuk mengerti rencanNya.. Semakin hari semakin luwes, jujur, dan akrab - lanjutkan!!
Siap !
Post a Comment