Pages

Tuesday, June 11, 2013

Niat dan Prioritas

Kita sering dibuat kesal oleh pemberi harapan palsu (termasuk diri sendiri) ketika bersepakat untuk sesuatu dan di saat-saat terakhir dibatalkan oleh salah satu pihak. Alasan apapun yang diberikan tidak menghilangkan kekecewaan yang sejenak muncul di diri. Sering saya menyebut fenomena ini dengan sebutan tidak niat. Jika pelakunya adalah diri sendiri, maka saya pasti memarahi diri sendiri, tentunya tidak di depan orang banyak. Dan jika pelakunya orang lain, jurus pertama adalah mengelus dada, dan pada level tertentu bisa berupa sindiran, bahkan amukan.

Seniat apapun kita berusaha hendak melakukan sesuatu, akan dipandang tidak niat oleh orang lain ketika hal itu tidak terlaksana. Kadang yang membuat hal itu tidak terlaksana adalah adanya pilihan lain yang lebih tinggi prioritasnya bagi kita. Pilihan lain ini tidak selalu merupakan hal yang bertentangan dengan hal yang kita niati. Bisa jadi ia adalah hal yang baik, namun karena manusia tidak bisa berada di dua tempat berbeda untuk melakukan hal yang berbeda, maka pasti ada yang terlaksana dan ada yang tidak. Kedua pilihan itu tidak menjadi permasalahan jika tidak muncul dan perlu penyelesaian dalam waktu bersamaan, apalagi di dua tempat yang berbeda dan tidak berlaku penundaan. Kondisi bentrok secara waktu inilah yang membuat kita harus memilih salah satu diantara dua atau lebih. Dan dari keputusan inilah tercermin prioritas kita. Pilihan kita menggambarkan/mencerminkan/menunjukkan/menyatakan prioritas kita. Yang satu lebih penting dari yang lain. Bentrok pilihan A dan B bukan satu-satunya kemungkinan bentrok yang dapat terjadi, tapi mari kita sederhanakan pemikiran dengan meninjau dua pilihan ini saja. Dari beberapa kali kejadian bentrok A dan B, dapat kita lihat pilihan mana yang lebih banyak diambil. Dari situ pula, secara sederhana kita bisa simpulkan prioritas A dan B dalam diri seseorang.

Dimana hartamu berada, disitu hatimu berada.

Tindakan berbicara jauh lebih kuat dari perkataan. Jika kita bilang A lebih penting dari B, tapi kenyataannya kita lebih memilih untuk lebih sering berada di kondisi B, maka kita sedang berdusta. Jika tidak ingin dikatakan berdusta, maka mungkin bisa dikatakan kita mengalami kelainan berupa ketidaksinkronan otak dan mulut. Jika hal ini berlangsung terus menerus maka bisa jadi akan berubah menjadi sindrom ketiaksinkronan kronis. Pada kondisi terparah bisa menjadi pendusta profesional.

Seberapa banyak kita mengaku mencintai keluarga dan menganggap keluarga adalah yang terpenting tetapi waktu yang kita miliki bahkan saat libur tidak pernah kita berikan untuk keluarga? Atau mungkin kita ada bersama keluarga tapi tidak berada dalam kebersamaan? Contoh keluarga adalah salah satu diantara banyak prioritas dalam hidup kita. Hari ini mari kita merenungkan, mari kita berhitung dan mengevaluasi diri, sejauh mana keputusan kita konsisten dengan prioritas yang telah kita tetapkan. Apakah prioritasnya yang harus dirombak atau cara kita mengambil keputusan? Pilihan ada di tangan kita. Sekali lagi, pilihan kita menunjukkan prioritas kita.

0 comments: